Pendaftaran perguruan-perguruan tinggi sudah dibuka dua bulan sebelum wisuda. Sudah banyak teman-temannya yang telah mendaftar atau hanya membicarakan tentang kuliah. Begitu juga dengannya dan Lina. Mereka berdua sudah membicarakan tentang kuliah. Bedanya Lina sudah mantap akan kuliah, sedangkan ia belum tahu kuliah atau tidak.
Banyak yang menyayangkan bahwa ia terancam tidak bisa melanjutkan pendidikannya ke jenjang lebih tinggi. Namun, ia telah memahami. Kemampuan ayahnya tak bisa ia paksakan. Ia tak berani mengemukakan keinginannya untuk kuliah pada ayahnya. Ia tak mau lagi membuat ayahnya menderita karena egonya. Ia sudah besar sekarang. Dirinya lebih mengerti akan kehidupan. Tidak seperti semasa kecil dulu yang sempat merasa malu mempunyai ayah seorang pemulung.
Suatu sore ia duduk di ruang tamu. Tangannya sedang menopang buku yang ia baca. Langkah Pak Zaid terdengar menuju ke arahnya. Mengetahui kedatangan Pak Zaid, ia menaruh bukunya.
“Nabila,” sapa Pak Zaid.
“Iya Ayah.”
“Bagaimana Nak, kuliah atau tidak?”
Mendengar pertanyaan itu ia sempat kagok. Ia tak pernah menyangka Pak Zaid akan menanyakan hal itu. Dengan ikhlas hati, sebenarnya ia telah mengubur mimpi-mimpi itu.
“Itu terserah Ayah,” jawabnya beberapa saat kemudian.
“Kamu kuliah ya Nak.”
Kaget sekaligus sangat senang bercampur baur memenuhi pendengarannya. Tetapi ia juga meragu. “Yah, biayanya ada?” tanyanya.
“Ada.”
Ia terperanjat senang. Ia kegirangan dan salah tingkah. Tangannya menutupi wajahnya. Lalu berganti menunduk sembari tertawa. Ia merasa seperti bermimpi. Kemudian ia menatap Pak Zaid sejenak, memperhatikan penampilan ayahnya yang selalu saja lusuh. Pak Zaid selalu memakai pakaian bulak. Memang ia sudah tidak pernah lagi melihat ayahnya membeli baju. Diingat-ingatnya, Pak Zaid berhenti membeli baju sejak ia SMP. “Yah … nanti biayanya gimana?” tanyanya.
“Tenang Nak, ada kok.”
“Yah, jujur saja kalau ndak ada nggak apa-apa kok.”
“Ada Nak, ada kok.”
“Yah ….”
Pak Zaid menyela, “Nak, Ayah sudah mempersiapkan semuanya sejak dulu.”
Ia kembali menatap pria penuh kejutan di depannya dan tidak tahu harus berkata apa. Ia menatap dalam pada Pak Zaid yang sedang memalingkan wajah darinya. Jiwanya terhempas kata “semuanya semuanya sejak dulu”. Ia merasa dalam waktu selama ini, terlepas dari ketidaktahuannya, ia merasa ayahnya itu sangat kuat. Ada kebahagiaan yang terbit dalam hatinya saat menyadari ada pahlawan sejati yang ia miliki, yang sekarang duduk di depannya. Ia sadar bahwa ia sangat mencintai ayahnya, si pahlawan super.
“Nak, kamu ingin kuliah apa?” tanya Pak Zaid kemudian.
“Apanya Yah?”
“Kuliahnya, itu loh … apa ya?”
“Oh jurusan, Yah.”
“Iya itu, mungkin.”
“Oh, keguruan saja Yah. Nanti supaya aku bisa jadi guru.”