Suara cenggeret di luar rumah, tidak akan leluasa Nabila dengarkan lagi karena malam ini ia akan pergi meninggalkan rumah itu. Cermin memantulkan dirinya yang telah memakai kemeja putih berlapis almamater kampus dengan bawahan rok hitam. Melamunkan, dan membayangkan masa-masa kecil yang ia habiskan di rumah itu, membuatnya terdiam di sebelah koper dan tas yang berada di sampingnya duduk.
Pak Zaid masuk. “Sudah siap Nak?” tanyanya.
“Sudah, Yah.”
Pak Zaid duduk di samping Nabila. “Dulu ketika kamu kecil, kamu biasanya didongengin,” ungkapnya sebelum tertawa ringan.
Nabila pun ikut tertawa. Kebahagiaan mengusapnya malam itu karena sebentar lagi ia akan menjemput mimpinya, sekaligus mimpi ayahnya. Ia berkata, “Yah, Ayah jaga diri baik-baik ya. Aku tidak tahu nantinya kapan sekali-kali akan pulang.”
“Tenang saja Nak, yang penting kamu fokus sama kuliahmu.”
Suara mobil di malam yang sunyi terdengar. Nabila sadar bahwa ia harus segera membawa koper dan tasnya keluar rumah dan pergi. Padahal, ia masih ingin bercakap-cakap banyak dengan Pak Zaid. Ia pun terdiam. Hatinya terus menerus berkata bahwa berat rasanya meninggalkan seseorang yang menghidupinya selama ini.
“Nak, Pak Kandar sudah bersiap. Ayo kita keluar,” kata Pak Zaid.
“Iya Yah.”
Nabila tak kunjung berdiri. Hatinya begitu berat meninggalkan rumah itu dengan seribu satu kenangan di dalamnya. Ia masih duduk terpaku di atas tempat tidurnya. “Yah, aku ingin ngobrol banyak sebenarnya,” ungkapnya.
“Apa Nak?”
“Banyak Yah.”
“Ayah juga ingin ngobrol banyak. Tapi sekarang sudah waktumu berangkat Nak. Begini saja, kuringkas semua yang ingin kukatakan … Nak, terima kasih telah menjadi seorang putri yang membanggakan.”