Mimpinya telah menembus nasib, mengubah hidupnya 180 derajat. Ia yang tinggal di kampung, sekarang tinggal di kota. Ia yang dulunya tinggal di rumah gedek berteman rayap, kini tinggal di hunian yang nyaman. Ia yang dulunya menumpang mobil angkut mikrolet, kini mengendarai mobil pribadi. Kebahagiaannya tersiluet sempurna. Ia yang muda, cantik dan berkecukupan, adalah ia sekarang, dr. Nabila. Tetapi bagaimanapun, ia tetaplah Nabila si gadis desa itu. Ia tetaplah Nabila dengan perangainya yang kalem nan ramah. Lidahnya tetap gemar makan ikan pindang dengan sambal terasi seperti saat-saat dahulu.
Ia yang kini tinggal sendiri sebenarnya punya mimpi memboyong ayahnya ke kota. Selepas membayar rumah di perumahan itu, ia meminta ayahnya tinggal bersamanya. Namun, ayahnya menolak. Ayahnya mencintai rumah itu. Bagi ayahnya, di sanalah sejarah perjuangannya akan selalu terkenang sebagai seorang ayah yang berhasil menjadikan anaknya sarjana kedokteran, walaupun ia hanya lulusan SD dan seseorang yang berpenghasilan rendah dan rendahan kata orang-orang.
Maka dari itu, ia merenovasi rumah ayahnya agar lebih nyaman ditinggali serta sedap dipandang mata. Sekarang dua rumah yang berada di ujung desa yang dulunya dikenal sebagai dua rumah bak bumi dan langit itu, kini telah sejajar. Rumah itu telah sama bagus dengan tetangganya, bahkan kata orang-orang lebih bagus rumah milik ayah dari dokter muda yang belum menikah itu.
Tetapi, kebahagiaan ayahnya sejatinya masih belumlah genap. Adalah kebahagaian sempurna jika melihat ia melihat putrinya telah duduk di pelaminan. Namun, impian itu belum jua tercapai. Ia merasa putrinya masih seru menata karir yang sesungguhnya telah mapan. Karena sebuah keseruan, banyak orang lupa bahwa segenap mimpi telah cukup diraih.
Lalu jawaban dari sebuah kesadaran akan kelalaian seorang manusia yang ada di pikiran seorang ayah berpanggilan Pak Zaid adalah karena ia tak mau mengusik Nabila. Ia tahu kalau putrinya seharusnya juga memikirkan keniscayaan itu, tetapi ia merasa sungkan untuk menyuruh putrinya segera mencari jodoh. Ia hanya pernah menyinggung dan itu hanya sekali. Entah kapan itu.
Pastinya saat itu ia melihat putrinya datang ke rumahnya dengan memakai baju yang amat bagus, modis, seperti yang ia lihat di televisi. “Mengapa ya masih belum ada yang meminang, padahal wes kayak gini ayune,” candanya saat itu.
“Ah, Ayah ada-ada saja, ini aku masih banyak kesibukan Yah, nanti kalau udah waktunya ya pastinya aku nikah.”
Gosip bermunculan di sana-sini bahwa ada pemuda-pemuda yang hendak melamarnya. Tetapi, untuk meminang gadis itu butuh lebih daripada sekadar nyali. Mereka kalah sebelum berperang. Menyerah sebelum mengetuk pintu untuk meminang. Mereka hanya maju mundur dengan nyali yang plin-plan. Cantik, muda, pintar, kaya raya, ah, aku iso opo rek?[1] keluh mereka.
Suatu ketika di sela-sela kelonggaran jadwal, Nabila ditawari oleh rumah sakit tempat ia bekerja untuk mengisi sebuah seminar yang diadakan di Blimbing, dekat Perum Araya, dengan tema “Sehat ala Nabi”. Ia menerima permohonan itu, akan tetapi temanya membuatnya meragu. Ia sadar tidak begitu paham agama.
Ia memang berkapabilitas di bidang kesehatan, tetapi masalah kesehatan yang berimplikasi dengan ucapan, kelakuan, dan ketetapan Rasulullah, ia kurang percaya diri. Keterkeciutannya semakin parah saat merasai itu. Akan tetapi, yang merekomendasikan untuk mengisi acara tersebut adalah dokter paling senior dan disegani di sana.
Kemudian ada sesuatu yang ditangkap oleh matanya dalam surat permohonan itu. Dalam lembaran surat permohonan itu, ia tidak sendiri dalam mengisi seminar. Ada seseorang lagi. Betapa terkejutnya ia membaca nama itu. “Ir. Bintar Jiwa Nanda,” ucapnya berbisik.
Matanya lebih ia pusatkan ke nama itu. Ia mengejanya sekali lagi, “I r . B i n t a r J i w a N a n d a.”
“Dokter, iya aku bersedia,” ucapnya kepada dr. Priono yang merekomendasikannya.
“Iya, sekarang segera ke sana ya.”
Nabila keluar dari rumah sakit ruang sang dokter senior. Langkahnya menuju parkiran. Hari itu ia memakai baju casual, kerudung warna merah muda, celana putih, atasan baju panjang sampai lutut berwarna biru muda. Mobil merahnya berjalan meninggalkan rumah sakit.
Dalam hati ia bertanya-tanya, benarkah? Benarkah itu adalah temanku yang tiba-tiba setelah lulus SMA lenyap begitu saja? atau apakah nama dari lelaki itu kebetulan sama dengan Bintar si anak lugu itu. Oh mengapa pula aku tidak bertanya pada Dokter Priono tentang profilnya, ah ...!
Nabila bingung, tidak tenang, berpacu dalam perasaan yang tergesa-gesa.