Dua bulan kemudian ...
“Bagaimana Suster perkembangan Bu Diana?”
“Semakin membaik Dokter.”
Nabila dan seorang suster bernama Firda sedang berjalan menuju kamar pasien VIP. Ia dan Suster Firda membuka kamar pasien tersebut. Bu Diana, pasiennya yang telah tiga minggu berada di sana, sedang telentang dan terjaga. Bu Diana adalah seorang penderita diabetes melitus.
Nabila memeriksa keadaannya. Saat ia melakukan tugasnya, Bu Diana kerap kali menatap wajahnya, terutama matanya. Bagi Nabila, ibu tersebut memiliki wajah yang lebih muda dari usianya, 45 tahun. Hal itu bukan karena wajahnya yang tirus atau bentuk wajahnya bulat. Sesuatu yang membuat Bu Diana tampak lebih muda adalah karena ia memiliki kulit wajah yang sangat halus, putih dan kencang. Tampaknya, seolah nyaris tidak ada kerut padahal ibu itu berada di usia kepala 45 tahun. Tak terpungkiri kalau ibu itu adalah seorang wanita yang cantik. Ia pun menyadari itu.
Alamat tempat tinggal yang tertera di profil pasien Bu Diana bukan dari Malang, melainkan jauh di sana, Jakarta. Alasan Bu Diana mengobati sakitnya di Malang adalah karena ia ingin berobat sekaligus refreshing. Lepas dari hiruk-pikuk kegaduhan Ibu Kota. Lebur bersama ketenangan Kota Bunga yang ada di Jawa Timur.
Siapa pun akan berpikir kalau Bu Diana adalah orang kaya. Ia tidak hanya tinggal di kamar VIP, ia juga mengajak pengawal pribadinya. Tetapi, Nabila malah berpikir ada yang sedikit janggal dengan pasien satu ini, ke mana sanak keluarganya atau setidaknya anaknya yang seharusnya menemani, sebab sakitnya Bu Diana tidaklah sepele. Diabetes Bu Diana telah sampai pada tingkat yang mengkhawatirkan saat awal pertama kali dirawat di sana.
Tuhan memberi jalan kesembuhan di rumah sakit itu. Kondisinya berangsur-angsur membaik dari hari ke hari. Ia sendiri pernah diberitahu oleh Nabila bahwa kesembuhannya banyak dipengaruhi psikologis. Selama menjalani pemerikasan, ia selalu melihat Nabila sembari tersenyum. Tatapan matanya hangat.
Jika Nabila mengajak Bu Diana berbicara, selalu terlihat raut kebahagiaan yang dalam, yang menurutnya lebih dari sekadar kebahagiaan dan ia tidak tahu kenapa. Pernah pula ia membatin bahwa seolah-olah ia memiliki ikatan batin dengannya. Tapi entahlah.
Lambat laun kedakatannya dengan Bu Diana semakin menampak. Ia dan Bu Diana sering mengobrol sambil berpegangan tangan. Berkali-kali Bu Diana memujinya. Bu Diana senang bila mendengar ia bercerita tentang dirinya sendiri. Semuanya. Mulai dari ia kecil sampai ia besar. Lika-liku dan suka dukanya. Dalam tiap ia bercerita, selalu ada figure ayahnya. Dan figur ayahnyalah yang selalu ia katakan sebagai sumber kasih sayangnya, semangatnya, dan kebahagiaannya. Bu Diana sampai pernah menangis mendengar cerita-ceritanya.
Ada saat-saat Bu Diana begitu terharu, menangis dengan raut wajah teramat pilu. Saat itu, Nabila menceritakan perihal almarhumah ibunya. Ia berkata bahwa ibunya amat menyayanginya. Demi ia dan keluarga, ibunya pergi ke Jeddah menjadi seorang TKW. Lalu karena sebuah penyakit, ibunya meninggal di sana dan dimakamkan di sana sesuai wasiat. Saat itu bukan hanya Bu Diana yang menangis dengan derasnya cucuran air mata, si pengisah juga demikian pula, menangis dengan air mata deras menganak sungai.
Bu Diana menggamit tangannya.
“Bu Diana, ibuku adalah puisiku, saya mencintainya dan merindukannya. Saya selalu curhat ke Allah kalau saya ingin menemuinya, dalam doa selalu saya katakan pada-Nya bahwa izinkanlah saya bersamanya di surga kelak,” ujarnya.
***
“Yah, ini undangannya,” ucapnya seraya memperlihatkan contoh undangan pernikahannya kepada Pak Zaid.
Pak Zaid memperhatikan undangan pernikahan itu, sebuah undangan berwarna biru tua dengan tulisan berwarna putih, dihiasi ornamen-ornamen di sudut-sudutnya. Indah sekali. Dan keindahan itu menjelma menjadi keindahan yang tidak dapat diungkapkan ke dalam kata-kata ketika ia membaca nama putrinya di atas namanya sendiri tertera di sana. “Iya, bagus Nak, ayah tidak begitu paham beginian. Tetapi, ini indah sekali,” responnya.
Pertemuan singkat antara Nabila dan Bintar, membawa keduanya pada penyatuan laki-laki dan perempuan non-mahram dalam naungan cinta, pernikahan.
“Yah, hari ini aku masuk sore, bantu aku memasang nama ya,” pintanya.
“Iya Nak.”
Pagi itu di rumah Pak Zaid, Nabila memasang nama-nama orang yang akan ia undang. Ada dua ratus undangan di sana. Ia sudah membuat print out nama-nama undangan di kertas stiker. Sekarang tinggal mencabut dan menempelkannya saja. Ia sebenarnya bisa menyuruh Lina atau yang lain untuk memasang semua itu. Namun, ia ingin menghabiskan waktu bersama ayahnya.
Kemudian Pak Zaid melihat nama “Diana” yang beralamatkan Jakarta. Ia penasaran. Lantas ia bertanya sambil memperlihatkan nama yang barusan ia tempel, “Nak, siapa ini kok dari Jakarta, temanmu?”
“Oh bukan Yah, itu pasienku.”
“Dari Jakarta?”
“Iya.”
“Kenapa bisa berobat jauh ke sini?”
“Anu Yah, sambil refreshing katanya,” Nabila tersenyum, “itu pasienku yang sakit gula Yah. Aku belum cerita ke Ayah. Dia seorang janda, pengusaha sukses dari Jakarta. Usianya 45 tahun Yah. Tetapi ia tampak seperti usia 30-an. Tampak awet muda sekali.
Selama merawatnya, aku dan dia sering bertukar cerita. Ia dekat sekali dengan aku. Bahkan ketika aku bercerita, terkadang ia menggenggam kedua tanganku. Aku bercerita banyak hal padanya, hingga kita seperti saudara, seolah punya ikatan darah. Saat aku bercerita tentang pernikahanku, aku mengundangnya. Ia tidak mau. Namun setelah aku desak akhirnya ia mau. Hari ini ia akan pulang Yah. Jadi undangan ini akan kuberikan sore nanti.”
“Oh iya-iya,” jawab Pak Zaid.
Siangnya Nabila berangkat pulang ke rumah untuk persiapan berangkat ke Refa Husada. Setelah ia pergi, tiba-tiba ada sesuatu yang mengganjal di benak Pak Zaid. Ia tidak tahu kenapa. Yang jelas ada sesuatu yang tiba-tiba menggelisahkannya dan ia tidak tahu apa itu. Dalam benaknya, ada rasa takut yang amat sangat.
Ia pun mengambil wudu dan salat zuhur. Setelah salat, ia masih saja gundah, tidak tenang. Dan masih tidak tahu kenapa. Ia berjalan menundukkan kepala dari kamarnya. Di lantai ruang tengah ia mendapati sebuah undangan yang jatuh. Rupanya putrinya tidak sengaja menjatuhkan undangan itu. Ia menunduk dan mengambil undangan. Diana, ejanya dalam hati.
Ia tak kunjung berdiri. Ia jongkok sambil melamun. Sedikit-sedikit ia memperhatikan undangan itu lagi. Pikirannya tergerak untuk memberikan undangan itu ke Nabila. Ia mengambil jaketnya dan pergi meninggalkan rumah. Ia akan ke Refa Husada dengan menaiki angkutan umum. Di luar rumah, ia ditanya oleh Bu Suli, “Mau ke mana Pak?”
“Mau ke Refa Husada, Bu Hajah.”
Pak Zaid kemudian pergi. Bu Suli merasa ada yang janggal dengan kepergian itu. Ia memperhatikan raut wajah tak terbaca.
Sampailah Pak Zaid di rumah sakit. Ia sedang berada di lobi. Karena tubuh yang menua, perjalanan yang sebenarnya ringan terasa berat. Ia memutuskan untuk duduk sejenak. Ia menunduk memperhatikan undangan itu lagi.