Dusun Demang Jaya, 1965, ihwal tentang Zaid muda ...
Hitam langit dini hari. Sejauh mata memandang, bubuk-bubuk kemilauan berkedap-kedip menyebar di angkasa. Bulan bundar sempurna mempesona di antara cahaya lainnya. Padang menyinari alam. Melengkapi bintang-bintang. Dan angin mandek berhembus. Membuat dedaunan saling bertapa, tak bergerak, beku, tak ada lambaian. Nyanyian jangkrik, tonggeret dan katak yang berada di ribang belakang Panti Asukan Taslimiyah telah berhenti entah sejak kapan.
Di suatu tempat, Abah Yahya menghadap Sang Pencipta. Ia mendekatkan diri pada Tuhan, salat malam ia dirikan. Ia salat di belakang rumahnya yang berada di antara gedung panti. Sajadahnya digelar di atas tanah. Langit sebagai atap terbuka menampung segala doa. Hawa dingin yang menggoda perawan menyergap badannya. Masuk menembus baju koko putih melalui celah di pergelangan tangannya. Untung ada sorban bercorak merah putih kotak-kotak yang ia kerudungkan yang melindungi telinganya dari dingin. Badannya kokoh berdiri tiada gentar. Kehangatan rohaniah menjadi sahabat karib, menghaturkan segenap doa-doanya.
Seorang perempuan yang telah menjadi teman hidupnya sejak dua puluh tahun lalu, juga sedang mendekatkan diri pada Sang Pengasih. Bedanya, ia salat malam di kamarnya. Hawa dingin dini hari sempurna terhalang oleh dinding ruangan.
Sepertiga malam berlalu dengan syahdu. Abah Yahya masih di luar rumah. Sekarang, ia duduk bermunajat meminta keselamatan dan ketentraman hidup. Umi Latifa, istrinya telah duduk santai di atas tempat tidur. Biasanya, sambil menunggu azan subuh berkumandang, Umi Latifa akan tidur sejenak. Tetapi saat itu, ia enggan melelapkan diri.
Ia keluar dari kamar. Kakinya melangkah santai menuju ruang yang berada di dekat halaman belakang. Ia menengok suaminya. Dari jendela yang melukiskan embun, ia bisa melihat suaminya di sana. Selama ia bersanding hidup dengan suaminya, tak pernah rasanya ia menjumpai suaminya tidak salat malam. Suaminya adalah lelaki yang kontinu.
Tentu masih ia ingat betul jawaban suaminya ketika ia bertanya mengapa selalu saja bertahajud langsung di bawah langit. Suaminya menjawab, “Aku mengikuti guruku, katanya kalau langsung di bawah langit, doa cepat dikabulkan.” Mendengar jawaban itu ia tersenyum. Sedang pikirannya menerka, memang betul ujaran itu, tetapi tentulah bisa dikatakan pula bahwa sebuah kepayahan diri dalam berdoalah yang membuat sebuah doa diijabahi.
Usai menengok suaminya sejenak, ia akan kembali ke kamarnya. Tirai jendela di ruang tamu terbuka sedikit, ia melangkah mendekat. Saat hendak menutup tirai itu, ia terkejut. Seketika darahnya mengalir begitu amat deras. Jantungnya berdetak-detak gaduh tertabuh genderang keterkejutan. Siapa yang tidak kaget melihat di teras rumah pada waktu dini hari yang sedingin ini mendapati sesosok bayi yang masih merah?
Ia segera membuka pintu. Tepat di atas keset warna coklat, sesosok bayi dengan kain batik yang membuntal tubuh mungil itu, tertidur pulas. Entah siapa yang meletakkan bayi itu di sana. Saat mengangkat bayi itu, ia sentuh kulit wajahnya. Ia merasa tangannya seperti menyentuh balok es saking dinginnya. Bayi itu tidak bergerak saat ia menggendongnya. Kelopak mata bayi itu tertutup rapat. Dengan tergopoh, ia segera membawanya ke kamar. Di sana, ia lekas menyelimuti bayi yang tampak kedinginan itu dengan selimut bayi yang ia punyai.
Ia berlari ke belakang rumah. Mulutnya terbata saat mengabarkan pada Abah Yahya tentang seorang bayi yang baru ditemukannya. Abah Yahya amat terkejut dan melompat meninggalkan sajadah. Dengan buru-buru, ia mengejar Umi Latifa ke kamar. Ia melihat bayi yang wajahnya masih merah. Bayi lelaki yang tampan, ungkapnya dalam hati. “Bayi siapa ini Umi?” tanyanya keheranan.
“Iya, bayi siapa ini? kenapa tega sekali menelantarkannya. Meski ini panti asuhan, tetapi hendaknyalah mereka sadar kalau ini seorang bayi, mana tahan dititipkan dengan cara seperti itu. Lihat, dia sangat kedinginan!” Umi Latifa yang keibuan terbawa suasana.
“Ya Allah, mengapa masih ada saja orangtua yang setega ini?”
Pagi harinya, Abah Yahya melaporkan kejadian itu kepada polisi. Polisi segera mengusut kasus tersebut setelah olah TKP. Orang-orang yang tinggal di sekitar panti asuhan milik Abah Yahya juga banyak yang hadir. Mereka ingin melihat si jabang bayi yang dititipkan dengan cara dibuang itu.
“Mungkin, ini adalah hasil dari hubungan gelap,” bisik orang-orang.
“Jangan berkata seperti itu, mungkin saja karena himpitan ekonomi,” kata yang lain.
Semua hanya spekulasi belaka. Polisilah yang diharap cepat membongkar kasus itu. Dihubungilah beberapa rumah sakit, mengecek tentang bayi-bayi siapa saja yang dalam sebulan ini dilahirkan. Para bidan juga tak luput dari introgasi. Juga, pada dukun-dukun bayi dilakukan introgasi untuk memberikan informasi tentang siapa saja yang meminta jasa untuk membantu proses bersalin. Masyarakat oleh polisi juga dihimbau untuk memberitahukan siapa saja orang-orang di kampungnya yang belakangan ini hamil dan menunjukkan gejala-gejala sikap tak wajar.
Seiring berjalanannya waktu, kasus pembuangan bayi itu tak kunjung juga menemukan titik terang. Siapakah orang tua bayi itu? Ah, sungguh misterius. Spekulasi makin banyak berkembang, bahkan ada yang menyebutkan kalau bayi itu buangan dari luar kabupaten. Kota itu, Malang, dilabeli sebagai kota santri. Masyarakatnya menjunjung tinggi adab kesusilaan.
Sampai sepuluh tahun berlalu, kasus itu tak kunjung jua menemui titik terang. Beberapa orang telah dapat dicurigai. Namun, tidak ada bukti dan alibi yang kuat. Bahkan, polisi pun sampai seolah lelah mengungkap kasus itu. Anak misterius itu seolah-olah bukan dibawa oleh manusia, melainkan dibawa oleh makhluk langit, langsung dititipkan ke panti asuhan itu, begitu kata para tetua.
***
Dusun Demang Jaya, 1975 ...
Umi Latifa sedang menjahit pakaian. Ia sedang menjahit pakaian Abah Yahya yang robek di bagian saku. Abah Yahya sebenarnya tentu bisa membeli baju. Umi Latifa sendiri juga sudah menyuruhnya untuk tidak memakai baju batik warna coklat itu. Tetapi, Abah Yahya tetap pada pendiriannya. Ia berkata dengan suara khasnya, nada ringan nan serak, “Umi, baju ini masih dua tahun yang lalu dibeli. Tak usah repot-repot beli lagi, mending uangnya dipakai buat membelikan baju anak-anak.”
Anak-anak yang dimaksudkan Abah Yahya adalah anak-anak asuh, bukan lima anak kandungnyanya sendiri.
Di balik pintu, ada seorang anak mengintip Umi Latifa menjahit. Anak berambut keriting dan berwajah putih itu malu-malu mau menghadap. Siapa dia? Dia adalah anak yang sepuluh tahun lalu ditemukan oleh Umi Latifa dan sampai sekarang masih belum diketahui juga siapa orangtuanya. Dan maksud kedatangan anak itu adalah ingin menanyakan keberadaannya: “Kenapa aku dibuang?”
Tetapi anak itu meragu untuk masuk. Ia hanya berdiri di sana. Dengan wajah penuh sayu, ia menunduk. Kemudian duduk di undakan. Ia teringat akan cerita sahabatnya beberapa waktu lalu. Sahabatnya itu mendapatkan cerita dari salah satu anak Umi Latifa yang umurnya lebih tua dari mereka berdua.