Kembali ke Rahim

Faiz el Faza
Chapter #18

Tambatan Larat

Waktu terus berlalu. Masa demi masa telah tertinggal tanpa disadari. Umurnya telah matang kini. Usianya 25 lima tahun. Ia ingin dan siap untuk menikah. Keinginannya untuk menikah, bukan hanya karena ia ingin, sebab ia sendiri telah menemukan tambatan laratnya. Ia telah lama jatuh hati pada sahabatnya sendiri di panti, Nurul.

Gadis itu dititipkan oleh ibunya ketika berusia 10 tahun. Ketika ia masuk ke panti asuhan itu, Zaid telah berusia 15 tahun. Ia dititipkan karena sudah tak mempunyai ayah. Ayahnya telah meninggal. Ibunya merasa tak mampu membiayainya. Tidak ada jalan lagi tampaknya, selain memasukkannya ke panti asuhan. Awal masuk ke panti itu, Nurul amatlah dikenal sebagai pemurung. Saban hari ia suka menyendiri.

Zaid anak yang baik. Ia suka menghibur teman. Melihat ada anak baru yang tampaknya kurang beruntung itu, ia menemaninya. Mula-mula, Nurul tak suka ditemani. Lama-kelamaan, gadis kecil itu mulai mencair sikapnya. Sejak ia dekat dengan Zaid, ia menjadi anak yang terbuka. Ia suka mencurahkan segala gundah dan gelisah. Zaid pernah berkata padanya, “Rul, kalau kita sedih, ceritakanlah kesedihan kita pada yang lain, insaallah kesedihan kita akan berkurang.”

Zaid dan Nurul, terlihat semakin dekat. Orang-orang menyebut kedekatan itu, sebagai kedekatan seorang sahabat kepada sahabat. Nurul sendiri, menyebut kedekatan itu sebagai kedekatan seorang adik kepada kakak. Sementara itu, Zaid menyebut kedekatan itu sebagai kedekatan seseorang dengan seseorang.

***

Kian hari Nurul beranjak dewasa, semakin terlihat anggun dan menawan. Ah, ia sangat berbeda dari kecilnya dulu. Dulu, ia anak yang tampaknya tidak begitu berelok paras. Tetapi sekarang, waktu yang terus bergulir ini telah mendandaninya, mengubahnya menjadi seorang perempuan yang apabila dipandang oleh lelaki muda, akan menimbulkan bekas di dada.

Tetapi, dari semua lelaki, ia telah menetapkan hati pada seseorang yang telah menjadi sahabatnya selama sepuluh tahun, Zaid. Rupanya, ia telah jatuh hati pada Zaid. Entah mulai kapan. Perasaan itu tumbuh tanpa ia sadari. Tahu-tahu, cinta itu sudah tumbuh bersemi. Berwarna indah di kebun hati.

Akan tetapi, di antara mereka berdua, masih tidak ada yang tahu, jikalau mereka saling menyukai satu sama lain. Apabila mereka bersua, mereka malu malu untuk berbicara, apalagi berpandangan. Padahal dulu pernah berenang bersama-sama bertelanjang dada di Sungai Talang peninggalan Belanda, situs sejarah di dusun itu.

Tetapi, di dunia ini, siapa yang sanggup menahan gelora asmara. Sampailah pada suatu malam. Sore tadi langit cerah tak bermendung. Malam itu pun begitu indahnya bila langit dipandang. Bertaburanlah di awang-awang semesta raya, bintang-bintang yang berkedap-kedip satu sama lain.

Di sebuah jalan, mereka bertemu. Sore tadi, mereka telah berjanji untuk bertemu di jalan itu, letaknya dekat dengan area persawahan. Zaid yang lebih dulu sampai. Setelah menunggu beberapa menit, Nurul akhirnya datang.

Mulailah keduanya berbicara.

“Nurul?” kata Zaid dengan malu-malu.

“Iya Kak Zaid. Ada apa Kakak memanggilku kemari?”

“Aku mau mengatakan sesuatu padamu.”

“Apa?”

“Tapi sebelumnya, aku minta maaf.” Zaid memalingkan muka.

Nurul seketika melihat raut wajah yang berat di garis wajah Zaid. Melihat itu, ia meresah. Dalam pikirannya, ia merasa seolah-olah akan ada sesuatu yang tak enak untuk didengar. Dengan takut-takut ia bertanya, “Iya, tapi Kakak tak pernah punya salah!”

Zaid terdiam.

Lihat selengkapnya