Kembali ke Rahim

Faiz el Faza
Chapter #20

Nurul Memilih Rahwana, Mengubah Namanya Menjadi Diana

Kesukaran hidup masih saja melingkupi mereka berdua. Kebutuhan sehari-hari terasa semakin sulit didapat. Kegetiran dalam menjalani biduk rumah tangga mulai dapat dirasa. Nurul mulai merasa hidup tak lagi berkecukupan. Demi menyambung kebahagiaan di matanya, untuk mendapatkan yang diingini, ia relakan kembali hatinya untuk berjualan, walau pun ia begitu trauma dengan semuanya.

Kini, ia harus berjalan lebih jauh lagi untuk menjajakan gorengannya. Mencari desa yang lebih jauh, mencari sekolah yang lebih jauh pula, demi Nabila yang ia sayangi. Juga, demi dirinya sendiri.

Panas terik matahari dan dinginnya hujan, menjadi lawannya di setiap hari. Jalan panjang yang melelahkan, menjadi seteru yang menemani langkah kakinya. Terkadang, perasaannya tidak lagi memiliki rasa legowo atau qanaah dalam menjalani kehidupan.

Jemblem anget weci anget![1]” serunya saat melewati pemukiman warga.

Suatu ketika ia menepi, berteduh di sebuah kursi di depan sebuah toko yang sedang tutup, ada sebuah mobil yang tiba-tiba berhenti di depannya. Mobil itu begitu mewah di tahun-tahun itu. Ia sampai geleng kepala. Ia memandangi kaca mobil itu, samar-samar terlihat orang di dalamnya. Orang di dalam mobil berwarna hitam itu keluar. Mata Nurul terperangah, Affan!

Affan memakai jas berwarna abu-abu dipadu dengan dalaman kemeja warna hitam. Celananya berwarna abu-abu. Rambutnya tersirir rapi dan terlihat basah, lebih tepatnya terlihat hitam berkilau.

“Nurul,” sapanya. Suara lelaki itu tampak begitu berwibawa.

“Iya Kak ...,” jawab Nurul terbata.

Affan duduk di samping Nurul. Nurul sendiri sedari tadi berusaha menyembunyikan pipi kanannya yang cacat kulit untuk seumur hidup itu. Ia malu memperlihatkan mukanya. Walau pun ia tahu bahwa Affan telah mengetahui rupa wajahnya saat disapa olehnya tadi.

“Aku dengar, kau terkena musibah,” kata Affan.

“Iya Kak Affan. Kok bisa tahu?”

“Sedari dulu kubilang, apa yang tidak kutahu. Seketika melihatmu saat ini, aku sungguh merasa kasihan. Apalagi melihat wajahmu itu.”

Mendengar hal itu, Nurul semakin menyembunyikan wajahnya. “Rul, mengapa kamu dari tertunduk. Janganlah kamu tutupi wajahmu itu,” tambahnya.

“Saya, malu Kak.”

“Nurul, kamu tetap cantik. Tenanglah.”

Alangkah berbunganya hati Nurul mendengar pujian itu. Ia tersenyum. Mengapa ia senang dengan pujian itu, padahal ia sudah bersuami? Nurul sendiri juga tidak menyadari itu, ia seakan lupa dengan yang menemaninya sepenuh hati selama ini.

“Terima kasih Kak. Hem, andai wajahku ini dapat kembali seperti semula,” ungkapnya pelan.

“Bisa Rul.”

“Bisa! Bagaimana caranya Kakak?”

Affan tertawa kecil. Ia menjawab, “Bisa dengan cara operasi plastik.”

“Operasi, bukankah itu untuk usus buntu, misalnya.”

Affan mengulangi kata-katanya, “Operasi plastik.” Affan tertawa sejenak.

“Operasi plastik, apa itu? memang operasinya pakai plastik?”

“Tidaklah, itu hanya sebutan, itu operasi merubah bagian tubuh, misalkan kulitmu ini, bisa dirubah menjadi sedia kala.”

“Wah.” Mata Nurul berbinar. “Di mana Kak ada pengobatan seperti itu?”

“Di Ibu Kota. Kenapa kamu mau?”

“Oh, tentu tidak Kak, Jakarta kan jauh. Lalu operasi pasti mahal. Dari mana aku dapat uang.”

Lihat selengkapnya