“Sekarang kamu tahu alasan mengapa wajah Bu Diana awet muda,” tutur Pak Zaid melemparkan menyinggung operasi plastik mantan istrinya itu. Ia lega telah menceritakan semuanya pada Nabila tentang masa kecilnya, mudanya, pernikahannya, sekaligus perceraiannya.
“Jadi … begitukah kebenarannya?” lirih Nabila.
“Iya, Nak, dia memang ibumu. Ibumu tidak meninggal. Ini salahku. Bu Suli dan Pak Kandar, mereka juga kusuruh. Maafkan Ayah. Ayahlah yang mengarang cerita ini.”
“Tidak!” kata Nabila seraya bangkit tanpa menoleh. “Mulai sekarang, aku tidak akan ke sini lagi. Dan tolong jangan ke rumahku. Mulai sekarang kita hidup sendiri-sendiri. Uang bulanan akan aku kirim.”
Nabila melangkah pergi setelah mendengarkan semua cerita yang sebenarnya. Pak Zaid terpekur di kursi ruang tamu. Ia menatap lantai, menunduk lesu. Keadaan hidupnya yang amat malang, membuatnya menjadi seorang manusia yang tidak punya pilihan. Bahkan sejak lahir, ia sudah tidak punya pilihan selain kemalangan yang terus-terus merantai dalam tiap sendi kehidupannya. Dan kali ini, ia harus dihukum oleh putrinya sendiri yang bahkan ia tidak berniat jahat sedikit pun.
Aku hanya ingin engkau merasa bahwa ibu adalah sosok yang tega meninggalkanmu. Dengan cerita karangan itu, aku berharap kau hidup dengan hati yang utuh, batinnya. Namun ia tak sempat mengatakan hal itu.
Sekali lagi ia tidak punya pilihan. Membiarkan putrinya memutus ikatan itu, ia merasa lebih baik. Dengan begitu, putrinya dapat melampiaskan segala kekecewaan yang menumpuk di dada. Ia tidak melakukan pembelaan apa pun. Ia membiarkan luka hatinya menganga begitu saja. Dalam kesedihan luar biasa itu, sebagai seorang ayah, ia hanya bisa membayangkan bahwa sekarang putrinya telah sukses. Itu saja.
***
Tiga hari kemudian.
“Nabila.”
Tanpa menoleh, Nabila menjawab, “Iya.”
“Lalu bagaimana pernikahan kita … sesuai aturan agama, ayahmu harus jadi walimu. Kalau tidak berarti saudaramu. Sedangkan, engkau tidak memiliki saudara.”
“Aku tidak tahu.”
Bintar menghela napas panjang dan berat. Kemudian menjawab, “Lalu bagaimana pernikahan kita?”
“Kita undur saja.”
“Tidak bisa Nab. Undangan sudah telanjur kita sebar. Keluarga dan saudara-saudaraku sudah prepare. Perlengkapan pernikahan sudah dikontak. Terop, catering, sound system, juru foto, dan lain-lain sudah disiapkan. Tidak bisa diundur.”
Nabila menunduk dan menopang dahi. Suasana ruangan hening. Ia sedang mengambil keputusan maha berat. “Iya, kita undur saja,” jawabnya selang beberapa saat.
“Mudah kamu kalau ngomong.”
“Mudah katamu! Setelah semua yang aku lalui kamu cuma ngomong gitu.”
“Bukan, bukan begitu maksudku,” sanggah Bintar gelagapan. “Maksudku bisa tidak kamu mengambil keputusan yang menguntungkan kedua belah pihak. Maafkan ayahmu. Lalu ajak dia ke pernikahan.”
“Tidak!”