Ia masih duduk terpekur pagi itu. Kantung matanya membengkak dihujam tangis semalam suntuk. Dering ponselnya terdengar berbunyi. Ia mengambilnya.
“Dokter, segera ke rumah sakit, ada pasien keracunan, butuh bantuan segera,” ucap seorang suster di telepon.
Ia segera berkemas. Ia lupa jika pagi itu harus bertugas. Setelah mengambil kunci mobil yang tergeletak di atas meja, ia segera pergi. Dalam perjalanan, beratnya kepala atas masalah yang mendera dan patah hati yang menghujam batinnya, membuatnya tak berkonsentrasi. Tin-tin! Suara klakson kendaraan menyadarkan tindakan menyetir ngawurnya. Hampir-hampir saja ia menabrak mobil yang sedang belok di depan. Untung ia mengerem tepat waktu.
Sesampainya di rumah sakit. “Bagaimana Suster keadaannya?” tanyanya kepada Suster Firda yang menjemputnya di lobi.
“Pasien menenggak racun Dok, upaya bunuh diri. Dia seorang perempuan berusia 25 tahun, menenggak racun insektisida,” jawabnya.
Begitu sampai di IGD, ia kaget bukan main, sebab sang pasien ternyata adalah temannya saat SD sampai SMP dulu, Laksmi! Ia menatap teman masa kecilnya itu. “Dokter!” seru seorang suster di ruangan itu.
“Oh iya maaf,” jawabnya tersadar, “suster pasien mengalami kejang. Segera kita beri benzodiazepine.”
Selama menangani si pasien yang tidak lain adalah temannya sendiri, sesekali ia memperhatikan wajah itu. Ia bertanya-tanya dalam hati mengapa temannya berupaya mengakhiri hidup? Pipinya kempot seolah tidak berdaging. Kantung matanya menghitam dan keriput. Badannya amat kurus. Ia juga memperhatikan bahwa temannya ini adalah perokok, tampak dari bau badannya. Sekali lagi ia bertanya-tanya apa yang membuat temannya ini mau mengakhiri hidup? Ada apa dengan hidupnya yang serba berkecukupan itu?
Pun teringat dengan apa yang menimpa dirinya karena temannya ini. Teringat bahwa dulu saat SD bahkan sampai SMP, temannya ini selalu mengolok-olok dirinya tentang strata sosial dan ekonomi dirinya. Untungnya saat SMA tidak lagi sebab temannya itu tidak sesekolah dengannya. Teringat betapa buruk sifat pasien ini terhadapnya dulu. Selalu mengolok-olok kehidupannya. “Dasar anak pemulung!” olokkan itu terlintas beberapa kali di benaknya.
***
“Nabila,” sapa Lina begitu sampai.
“Iya Lin,” jawab Nabila.
“Bagaimana keadaannya?”
“Sudah tertangani dengan baik. Kita tunggu sampai ia siuman.”
Lina mengeluarkan sebuah botol minuman dan memberikannya pada Nabila. “Terima kasih,” jawab Nabila seraya meminumnya.
“Maaf aku baru mengabarimu malam ini,” kata Nabila setelah terdiam beberapa saat. Ia menghela nafas lega.
“Iya tidak apa-apa, aku tahu kau sibuk.”
Nabila menunduk.
“Tidak apa-apa Nab, kita doakan saja semoga baik-baik saja,” ujar Lina.
“Iya, keadaannya akan baik-baik saja. Sebenarnya aku bisa mengabarimu tadi siang Lin. Tapi ini hari yang berat. Amat berat.”
“Masalah ayahmu?”
“Tidak hanya itu, Bintar.” Ia menunduk lagi. “Bintar membatalkan pernikahan.”
“Loh! Kapan?”
“Tadi pagi.” Nabila menyeka air matanya yang jatuh lagi. Kemudian ia menceritakan apa yang terjadi.
Satu jam kemudian, Suster Firda mendekati mereka berdua seraya berkata, “Dokter, pasien atas nama Laksmi sudah siuman.”