Nabila mengetuk pintu. Pintu itu terbuka, memperlihatkan Pak Zaid yang kemudian terpaku menatap kehadirannya. Ia menatapnya haru. Mereka berdua terdiam tanpa kata. Membisu sendu dalam ketidakberdayaan.
Nabila runtuh, bersimpuh, memeluk kaki ayahnya. “Yah, aku minta maaf. Maaf Yah …,” ucapnya seraya terisak.
Air mata Pak Zaid merintik. Ia merendahkan badannya. Kedua telapak tangannya yang kasar memegang kedua pundak Nabila seraya berkata, “Nak, ayah yang salah. Ayah yang minta maaf.”
Nabila menggelengkan kepalanya. “Tidak Yah, aku yang salah.”
Mereka berpelukan sambil duduk di teras. Air mata kerinduan Pak Zaid berhenti. Iya, itu air mata kerinduan. Keinginan bertemu dengan sang anak amat membelenggu. Dalam hatinya, ia tidak menaruh amarah kepada putrinya bahkan seinci pun. Ia mengelus-elus punggung putrinya penuh kasih.
Sementara itu, Lina memandang mereka. Ia tertunduk lega. Setelah itu mereka bertiga duduk di ruang tamu. Nabila duduk bercerita. Dalam cerita yang ia sampaikan kepada Pak Zaid, ia mencurahkan segenap perasaannya.
“Nak, lalu harus apa?” tanya Pak Zaid setelah Nabila selesai bercerita.
“Ayah ikut aku ke Blimbing sekarang. Kita sama-sama meminta maaf kepada Bintar.”
“Iya Nak, ayo kita berangkat.”
“Semoga ia belum ke Surabaya.”
Lina masih mengambil kemudi. Jalanan malam tentulah sepi. Lina gadis yang cekatan dalam berkendara. Maka dari itu, ia memacu mobil amat cepat. Secara ketangkasan berkendara, ia lebih pandai daripada Nabila. Sebabnya, ia belajar mengendarai mobil semenjak kelas SMP. Sedangkan Nabila, semenjak menjadi dokter.
Nabila phobia terhadap kecepatan. Walaupun jalanan malam itu sepi, namun truk-truk bermuatan, selalu menjadi raja jalanan. Dengan luesnya, sahabatnya itu meliku-liuk menyalip truk-truk itu. Gaya berkendara Lina yang seperti itu, membuatnya ketar-ketir. Tetapi ketakutannya akan kehilangan separuh nafas, mengalihkan ketakutannya.
Cinta adalah adrenalin sekaligus phobi yang datang secara bersamaan.
Nabila turun duluan dari mobil begitu sampai di depan rumah Bintar. Hatinya pontang-panting gelisah melihat rumah Bintar telah gelap. Tidak ada lampu yang menyala. Pun semua tirainya tertutup. Ia mengetuk pintu berkali-kali. Makin lama makin keras. Ia memanggil-manggil nama kekasihnya. Suaranya cukup keras. Sesekali, ia mondar-mandir di teras depan. Sampai akhirnya, ia jatuh. Bintar telah pulang ke Surabaya.
Ia duduk di atas teras rumah itu. Pandangan matanya kosong. Matanya sudah terasa panas. Matanya telah mengucurkan air mata dengan bancarnya seharian itu. Dan malam itu, seolah-olah air matanya telah kering. Ia sadar bahwa Bintar telah pergi. Artinya, Bintar benar-benar membatalkan pernikahannya. Nomornya juga sudah tidak aktif lagi. Ia merasa tengkuknya amat berat mengetahuinya.
Pak Zaid dan Lina berdiri mematung di depan Nabila. Mereka tidak tahu harus berbuat apa. Pak Zaid membujuk Nabila untuk pulang. Nabila hanya menggeleng. Ia patah hati untuk pertama kali dalam hidupnya, karena memang ia tidak pernah menjalin asmara dengan siapa pun sebelumnya. Merasakan patah hati untuk pertama kali, rasanya sungguh kacau. Tulang-tulangnya seolah ikut patah. Tak ada daya untuknya berdiri.
Lina membantunya untuk berdiri. Ia menaruh tangan kirinya di pundak Lina. Ia mulai berjalan. Pak Zaid mengiringi langkahnya dari belakang. Ia berjalan sambil menunduk. Pandangannya kosong ke bawah.
Tiba-tiba, ia melihat dua sepatu di depannya. Moncong dari kedua sepatu kulit berwarna coklat itu mengarah kepadanya. Ia menegakkan kepalanya perlahan. Matanya memandang dua celana jeans slimfit. Terus ke atas, terlihatlah jaket bomber biru navy dengan dalaman batik solo berwarna merah. Begitu sampai ke wajah orang itu, ia menatap pria itu. Bintar!
“Aku tadi sudah di Lawang. Kemudian putar balik. Aku lupa membawa kaos oblong. Surabaya lebih panas daripada Malang,” ucap Bintar.
Kemudian, Bintar melebarkan kedua tangannya. Otot-otot dan persendian Nabila seolah tersambung kembali. Tulang-tulangnya menguat lagi. Ia menghempaskan badannya ke pelukan Bintar.
“Bintar, aku dan Ayah minta maaf. Bisakah kita tetap menikah?” tanyanya.
“Tidak ada kata terlambat untuk memulai kembali, Nabila.”
Lina menangis bahagia. Di belakangnya, Pak Zaid menangis penuh haru. Air matanya hangat menentramkan karena dalam tiap bulir air matanya, tersimpan doa yang teduh dan bercahaya.
***
Sinar mentari yang masuk melalui jendela, tersaring amat lembut oleh tirai warna putih. Hembusan angin dari luar membuat tirai itu menari-nari dinamis. Seorang wanita paruh baya duduk di dekat Laksmi dan menanti mata putrinya terbuka.
Laksmi mulai membuka matanya. Ia melihat ibunya duduk di sampingnya serta Lina dan Nabila yang berdiri di dekat ibunya. “Nak …,” sapa ibunya.
“Ibu.”
Keduanya kemudian berpelukan. Ibunya Laksmi menangis pilu. Ia meminta maaf berkali-kali pada putrinya itu. Sambil tersenyum sekaligus menitihkan air mata, Laksmi mengangguk mengiakan.
Lina berputar ke samping kiri. Ia duduk di dekat Laksmi dan membujuk.