Kembali Lagi

Bla
Chapter #2

Hari H

Tak pernah kusangka Hindra akan mengajakku ke tepi danau, berdua sambil menikmati bintang-bintang yang menyinari langit malam.

Tiba-tiba dia mengeluarkan sekotak cincin.

Dia berdiri di depanku, raut wajah serius.

 "Oh, tidak," aku tersentak ketika dia meluncur ke satu lutut.

Aku menghela napas panjang.

"Dewi?" Dia menatapku melalui bulu matanya yang sangat panjang, mata hitamnya lembut membuat lututku menjadi lemas. "Aku berjanji untuk mencintaimu selamanya - setiap hari selamanya. Maukah kau menikah denganku?"

Darahku mengalir deras ke pipiku saat mendengar ucapannya. Kulihat wajahnya, yang memenuhi mataku dan menyarati pikiranku.

Aku baru sadar diriku menangis, benar-benar terharu.

Kami sudah berpacaran sejak SMA, dan hubungan kami semakin erat sejak itu. Dari saat kami pertama kali bertemu, aku sudah jatuh cinta padanya.

Tapi aku tidak pernah menyangka dia mau menikah denganku.

“Ya,” isakku, tangis bahagia mengalir di pipiku.

Hindra tersenyum bahagia. Dia mengambil tangan kiriku dan mencium setiap ujung jariku sebelum dia memasangkan cincin tersebut di jariku.

Dan sekarang di sinilah aku, sedang dipermak habis-habisan oleh sepupuku, telah membuang kuliahku yang baru saja memasuki semester tiga, dan siap menikah.

“Apakah ini benar-benar perlu? Dipermak bagaimanapun, itu tidak akan bisa menutupi rasa gugupku.”

Lusi mendorongku hingga terduduk ke kursi yang rendah. “Lihat saja. Semua mata akan tertuju padamu. Karena kau cantik.”

Aku mendesah dan bersandar di kursi lalu memejamkan mata, berharap mencuri-curi tidur selama dirias. Aku memang sempat terhanyut antara sadar dan tidak sementara Lusi sibuk memasker, mengampelas, dan mengliatkan setiap jengkal permukaan tubuhku.

Tanteku, Nita, melenggang masuk dalam balutan gaun perak berpendar-pendar, rambut hitamnya ditumpuk menjadi mahkota lembut di puncak kepala. Meskipun sudah menginjak kepala lima, dia tetap terlihat cantik sampai-sampai rasanya aku ingin menangis.

“Kau butuh bantuan? Tante bisa menata rambutnya.”

“Tentu,” jawab Lusi. “Tante bisa mengepang rambutnya. Aku ingin tatanan yang rumit.”

Kedua tangan Lusi mulai menyisir rambutku, mengangkat, memilin, menggambarkan secara mendetail apa yang dia inginkan.

Lihat selengkapnya