Oh, aku ingat dulu setiap pagi aku berusaha membangunkan Mikha yang susah sekali bangun.
Harus kuakui, dia terlihat seperti tidak bernapas saat tidur, benar-benar diam bagaikan mayat.
Suara langkah kakiku di pagi hari tidak mampu membangunkannya.
Tiap hari pukul lima pagi aku pasti memasuki kamarnya dan berkata, “Sayang, bangun.”
Dia hanya akan menggeram dalam tidurnya. “Nggak mau.”
“Bangun,” ucapku sambil berjalan keluar dari kamar. Pada tahap ini aku masih berusaha untuk sabar.
Aku segera mandi dan berpakaian, tahu-tahu waktu telah menunjuk pukul lima lewat empat puluh lima menit.
Bayangkan, dia akan telat ke sekolah!
Aku berlari ke kamarnya dan mengguncang-guncangkan tubuhnya. “Mikha, kamu harus bangun! Nanti kau akan terlambat!”
Dia tidak mendengarkanku dan aku meninggalkannya agar bisa sarapan. Selesai sarapan, waktu sudah menunjuk enam lima belas, dan aku segera menerobos masuk kamarnya sambil menahan amarah.
Kuraih kedua kakinya dari balik selimut dan berusaha menariknya dari kasur.
Oh, tentu saja dia jauh lebih pintar daripada aku.
Dia berusaha menahan dirinya, dan kau bisa menebak bahwa dia yang menang.
Antara tubuhnya terlalu berat, atau aku terlalu tua dan sudah lemah untuk menariknya.
“Astaga!” teriakku, dan itu mampu membuatnya terbangun.
Aku keluar dari kamarnya lagi lalu beberapa menit kemudian akan berteriak, “Mikha, ayo!”
Dia akan berpura-pura lugu dan mengatakan, “Apa? Aku sudah siap, bu.”
Menyebalkan, dia selalu mandi dengan cepat, terkadang itu membuatku curiga apakah dia benar-benar mandi atau tidak?
Hal lain yang membuatku tidak habis berpikir adalah cara anakku berpakaian. Dia sangat senang memakai celana jins hitam ketat, atasan ketat dan rambutnya pun dicat menjadi coklat muda. Ditambah lagi, selain anting, dia juga menindik hidungnya. Aku sempat menegurnya, tapi dia tidak mendengarkan.
Satu lagi yang membuatku tidak lagi betah di rumah akhir-akhir ini: anakku memiliki sebuah band kecil, yang setiap hari datang dan bermain di garasi kami.
Mungkin aku tidak akan menjadi jengkel jika musik yang mereka mainkan itu musik klasik atau semacamnya.
Yang dia mainkan adalah musik rock, bayangkan betapa berisiknya.
Padahal aku berharap dia bisa fokus saja pada pelajaran di sekolah, dan bukan bermain gitar bersama band nya itu.
Sungguh menyebalkan.
Aku sempat mencoba membicarakan ini dengannya, kira-kira seperti ini:
“Ibu! Kenapa ibu menyuruh teman-temanku pulang?!”
“Sudah lewat jam enam sore, nak! Saatnya istirahat.”
“Arrggh! Ibu benar-benar tidak peduli padaku!” teriaknya.
Aku mengerutkan kening. “Ibu sangat peduli padamu, jika tidak, mana mungkin ibu membiarkan kalian bermain di garasi? Ibu sampai membayari kursus gitarmu. Ibu hanya ingin kamu istirahat dan mengerjakan PRmu. Itu tanggung jawabmu.”
“Aku akan mengerjakan PRku, nilai-nilaiku tetap bagus, kok. Ibu saja yang tidak pernah memerhatikanku!”
Aku menganggukkan kepalaku. “Ya, lalu mengapa kemarin kau mendapatkan nilai 45 di kuismu?”
Dia melotot, terdiam sejenak. “Arrgghh!! Ibu! Aku kesal dengan ibu!”
Yah, sejak itu aku sepertinya tidak berbicara lagi dengannya, memang menyedihkan. Entahlah, aku juga memiliki masalahku sendiri dan semakin ke sini aku semakin menyesal telah menikah.
Maka dari itu, aku memutuskan untuk mencari udara segar dan tinggal bersama Putri.
Yah, ada masalah-masalah lain juga, tapi ini salah satunya.
Dan aku sadar itu bukan solusi yang benar, sehingga kuputuskan untuk menjemput anakku ini dan berusaha memperbaiki hubungan ini.
Angin menderu ketika para siswa tiba melalui gerbang, bergegas menyusuri koridor. Teman-teman saling menyapa dengan pelukan atau pukulan lucu sementara pendatang baru berdiri tampak ketakutan. Para senior, tinggi dan bangga, kepercayaan lahir dari pengalaman.
Segera bel berdering dan semua orang berjalan, beberapa berjalan lebih lambat dan ada beberapa yang menghiraukan bel dan memulai obrolan.
Aku berjalan memasuki sekolah tersebut, menelusuri lorong-lorongnya yang tidak berubah sejak aku masih bersekolah di sini.
Lorong-lorongnya berlantai marmer gelap dan dinding putih, bukan cetakan tangan atau lecet di mana pun. Pintunya berwarna hitam mengkilap, diberi nomor dengan angka perak yang cocok dengan pegangan berbentuk bola dunia.
Semuanya masih sama seperti dulu, hanya saja jumlah muridnya jauh lebih banyak sekarang.
Aku memasuki salah satu ruang kelas yang sudah kosong, kelas komputer.
Di dekat pintu ada tikar anyaman, dibuat dari tali pedesaan - sebuah kesaksian tentang berbagai macam kejadian di sekolah ini.
Aku tersenyum seolah aku bisa mendengar tawa anak-anak ketika mereka memasuki kelas dan bersiap untuk belajar, dipenuhi dengan suara mesin komputer.
Keset pintu bisa diganti bertahun-tahun yang lalu, ujung-ujungnya compang-camping dan melengkung, tetapi masih ada di sini.
Sekolah ini memiliki lantai yang dipoles, gordennya dibuat baru dan dindingnya dicat ... namun tetap saja, memberikan kenangan-kenangan yang berharga, nostalgia kehidupan terbaik.
Aku masih ingat saat aku bersemangat mempelajari ilmu komputer bersama Putri dan bagaimana kami memenangkan hackathon.
Jiwaku lebih menyukai masa lalu, masa-masa indah hidupku.
Aku tahu aku mendambakan sesuatu yang mustahil, kembali kepada masa itu, tetapi aku benar-benar ingin kembali hidup di masa lalu.