Kembali Lagi

Bla
Chapter #5

Masa Lalu

“Tidak,” jawabku dengan nada cuek. “Aku hanya mengantar anakku pulang.”

 Dia nyengir. “Begitu, baiklah.”

 Setelah kupikir-pikir lagi, mengapa aku memutuskan untuk menikah saat itu?

 Oh, benar, karena dia tampan dan berasal dari keluarga kaya raya.

 Dia tampan dari kedalaman matanya hingga ekspresi lembut suaranya. Dia tampan dari pendapatnya yang murah hati hingga sentuhan tangannya.

 Aku menyukai cara suaranya dipercepat ketika dia bersinar dengan ide baru, atau sangat menikmati saat bersamaku sehingga dia kehilangan dirinya sejenak dan lupa akan topeng yang dia kenakan untuk orang lain.

 Jujur, semua fiturnya membuatnya tampan.

 Dia membuat adonis kulit cokelat itu terlihat menawan, mata gelap yang membuatku lemah di lutut.

 Dia memiliki hati singa dan jiwa malaikat. Dia beberapa inci lebih tinggi dariku, dan aku suka.

 Dia langsing, berotot, dengan wajah simetris yang hampir sempurna.

 Orang-orang sering berbicara tentang warna mata, seolah-olah itu penting, namun matanya akan indah dalam naungan apa pun.

 Dari matanya muncul intensitas, kejujuran, kelembutan.

 Mungkin inilah yang dimaksud oleh seorang lelaki, bukan salah satu dari kelemahan atau kesopanan basi, tetapi satu dari semangat besar dan mulia.

 Apa dia, apa yang indah tentang dia, berasal dari dalam hati; itu membuatku ingin merasakan bagaimana bibirnya bergerak dalam ciuman, bagaimana tangannya mengikuti lekuk tubuhku. Ketika setiap tahun melewati garis-garis akan semakin dalam pada wajahnya, dia tetap lebih tampan, seolah jiwanya bersinar melalui kulitnya.

 Dia selalu percaya diri, bersinar, itu yang membuatku jatuh cinta padanya.

 Sedangkan aku?

 Semakin hari semakin berkurang rasa percaya diriku. Aku tidak lagi berani menatap bayanganku di cermin karena badanku yang gemuk, tidak lagi langsing seperti dulu.

 Aku tidak lagi berani mengenakan pakaian-pakaian yang indah, padahal dulu aku cantik sekali.

 Sebenarnya aku sangat senang berdandan, namun sejak berat badanku naik begitu cepat, aku tidak lagi berani membayangkan itu.

 Berat badan naik, kehilangan pekerjaan, muka penuh keriput, tidak kuliah…benar-benar hancur hidupku ini.

 Demi menutupi lemak-lemak di tubuhku ini, aku terbiasa mengenakan kaos atau celana yang lebar berwarna gelap.

 Entah mengapa, karena keadaanku seperti ini, aku semakin tidak percaya diri jika berada di samping suamiku.

 Aku yakin dia telah kehilangan rasa cintanya padaku karena perubahan drastis yang terjadi padaku.

 Setiap kali ada wanita cantik dan kurus yang berada di dekat kami, aku langsung membayangkan hal-hal buruk. Aku sampai membayangkan suamiku lebih baik bersama seorang wanita langsing, cantik dan memiliki karir yang bagus untuk mendampinginya.

 Aku teringat di hari terakhir kami berbicara, sebelum akhirnya aku pindah ke rumah Putri, dia menanyakan ini: “Sayang, bukankah biasanya kau sangat senang berdandan? Mengapa akhir-akhir ini kau hanya mengenakan pakaian seperti itu? Jangan tersinggung, aku hanya penasaran….apa kau sekarang sudah bosan denganku?”

 Buku-buku jariku menjadi putih karena mengepalkan tinju terlalu keras, dan mengertakkan gigi dari usaha untuk tetap diam, wujudku yang bungkuk memancarkan permusuhan yang seperti membakar asam, mengiris, kuat.

 Wajahu memerah karena amarah yang tertekan, dan ketika Hindra meletakkan satu jari di bahuku, aku berbalik dan secara mental membentak, “Jangan asal bicara! Katakan saja kalau kau malu memiliki istri sepertiku yang sudah menjadi gendut, jelek dan tidak berpenghasilan, bukan? Kau sudah tidak mencintaiku lagi karena fisik dan keadaanku sekarang, bukan? Apa kau tidak ingin mencari istri yang cantik dan langsing serta berpenghasilan tinggi saja?!”

 Dia tertegun mendengar ucapanku, membeku di tempatnya. “Apa?”

 Aku sendiri terkejut dengan ucapanku, tidak percaya apa yang baru saja kukatakan.

 Hindra meraih tanganku, “Maaf, sayang, kamu salah paham. Percayalah bahwa bukan begitu maksudku. Perasaanku tidak akan berubah bagaimana pun penampilanmu. Tapi aku sedih melihatmu yang dulu sangat percaya diri dan bersinar sekarang menjadi kehilangan kepercayaan diri…aku akan membantumu agar kembali cantik dan percaya diri lagi, ya?”

 Saat itu aku tidak mengatakan apa pun dan keesokan harinya aku pergi ke rumah Putri. Entah mengapa aku benar-benar kecewa dengan jalur hidupku dan telah kehilangan rasa percaya diriku. Aku benar-benar ingin hidup di masa laluku saja, karena semuanya terasa lebih indah.

 “Hei?” panggil Hindra, membuatku tersadar dari lamunanku.

 Aku mengerjap-ngerjapkan mata. “Ah, iya. Aku pulang dulu.”

 “Kau tidak mau mampir dan minum sebentar? Kita bisa mengobrol, kau tahu, aku berencana merenovasi ruangan depan sana.”

 Dia menunjuk bagian depan rumah, ruangan yang jarang sekali kami gunakan. Aku mengerutkan kening, untuk apa?

 “Untuk apa?”

 Dia mengangkat bahu. “Aku ingin mengubahnya menjadi sebuah TK atau tempat kursus. Rumah kita besar, dan kukira sudah saatnya kita berbuat kebaikan. Dengan berbagi ilmu, kita juga mendapat berkah, bukan?”

 “TK? Untuk apa? Apa kau tidak ada kegiatan lain?”

Lihat selengkapnya