Perutku menggeram dan melolong, dan darinya muncul rasa sakit yang tidak begitu halus. Itu datang dalam gelombang dan sepertinya perutku perlahan mencerna dirinya sendiri.
Aku mencengkeramnya, menariknya ke sini dan itu dalam upaya untuk membungkamnya tetapi tidak berhasil.
Itu adalah rasa sakit yang lambat, menggerogoti perutku dan membuatku merasa lelah dan kosong.
Dan ketika aku lapar, aku tidak bisa memikirkan apa pun selain makanan. Aku akan duduk untuk membuat donat aljabarku, tetapi tanda x akan berubah menjadi brokoli dan huruf y akan berubah menjadi cupcake!
Aku spageti ingin berhenti memikirkan makanan semua kue, tapi kurasa aku hanya terganggu oleh perutku.
Perutku menggeram dan aku menggeliat di kursiku untuk mencoba membungkam kegaduhan itu.
Ini sungguh aneh, aku merasa lapar terus, padahal aku sudah makan tadi siang.
Jujur saja, aku belum terbiasa dengan badan remaja ini. Ditambah lagi dengan bahasa aneh yang mereka gunakan. Demi Tuhan, tidak bisakah mereka menggunakan bahas Indonesia yang baik dan benar?
Apa itu artinya cuss dan kuy? Benar-benar menjengkelkan.
Lalu, saat jam makan siang, mengapa tidak ada yang sehat? Mengapa semuanya membeli makanan yang penuh dengan micin? Apakah mereka tidak khawatir dengan kesehatan mereka?
Aku melirik jam; hanya ada dua menit lagi sampai saatnya pulang.
Guru terus berbicara, tetapi kepalaku sibuk; mataku berkaca-kaca ketika aku membayangkan berbagai macam makanan yang bisa kusantap di rumah Putri.
Aku meneteskan air liur saat memikirkannya.
Hanya satu menit lagi.
Aku menyaksikan tangan detik merah itu perlahan menyelesaikan lingkarannya di sekitar jam di dinding. Semakin dekat, semakin lambat tampaknya.
Perutku bergemuruh lagi, dan aku berusaha menutupinya dengan tanganku.
Untungnya, tidak ada yang memperhatikan suara keras itu.
Akhirnya, aku mendengar bel berbunyi.
Aku tidak pernah lebih bahagia karena kelas berakhir.
Dengan kecepatan kilat, aku meluncur ke parkiran dan menemukan Putri sudah menungguku di parkiran.
“Ayo, giliranku untuk menyetir,” ujarku.
Putri menurunkan kacamata hitamnya. “Apa kau sudah punya SIM?”
“Sudah,” jawabku.
Dia nyengir. “Jangan berbohong.”
Aku mendesah, dia benar. Dalam wujud 18 tahun ini, aku tidak memiliki SIM dan tidak akan ada polisi yang akan memercayai keadaanku sekarang.
Akhirnya aku menyerah dan duduk di kursi penumpang.
Sesampainya di rumah, aku berjalan ke dapur, tidak ada seorang pun di sekitar.
Segera, aku mendengar suara, berbisik di telingaku - suara samar dalam bahasa lain.
Bisikan-bisikan teredam datang dari kulkas.
Tentu saja aku selidiki.
Aku disambut oleh cahaya ceria ketika aku membuka pintu kulkas, dan merasakan gelombang kesejukan yang menyenangkan.
Sekarang, suara-suara itu jelas, dan dalam bahasa dari "Dunia Makanan."
Bau selai coklat langsung mengambil hidungku, "Cium ini, teman lamaku. Pikirkan aku di atas roti gandum yang lezat."
Panggilan sirene dari sisa kue bolu pun datang, "Dan kamu tahu bagaimana kamu mencintaiku."
Dia mengundang, "Bayangkan rasanya, Manis."
Kemudian, parade menu lengkap, bernyanyi dalam semua rasa serenade lezat.
Crescendo membengkakkan suara-suara hingga tercium aroma yang kuat. "Kau tidak bisa menahan diri, karena kami bersikeras bahwa kau merasakan sebagian dari itu, dan ini."
Geraman dari perutku memanggil, dan perutku menang.
Aku mengambil semua makanan yang ada di kulkas lalu meletakannya di atas meja.
Putri tiba-tiba datang dengan Nintendo Switch di tangan kirinya lalu dia berseru, “Wow, wow hei anak kecil! Ini masih rumahku, ya. Jadi jangan macam-macam.”
Aku mengabaikan ucapannya dan sibuk mengoleskan selai coklat ke rotiku dengan penuh semangat.
“Kau sedang apa?” tanyanya bingung.
“Aku sedang makan, seperti yang kau lihat karena aku sangat lapar!” seruku sambil menyuapkan selai coklat ke mulutku dengan pisau lalu lanjut mengoleskannya ke roti.
“Astaga, kau jorok sekali. Itu sudah tidak steril lagi, aduh sudahlah selai itu jadi milikmu saja, ih,” gumam Putri dengan jijik.
Belum beres dengan rotiku, aku memotong kue bolu begitu saja dengan tanganku lalu menyuapkannya ke dalam mulut.
“Dewi! Joroknya! Dasar bocah!” seru Putri kesal dan aku hanya terkekeh.
“Jangan ditiru, bu. Ini akan membuatmu menjadi seperti balon. Tapi ini tidak akan membuatku gemuk hehe.”
“Dasar! Tidak adil!” keluhnya kesal.
Aku menyuapkan satu buah kue lagi ke mulutku dan menikmati coklatnya meleleh di mulutku. “Hmm, ini enak sekali.”
“Dewi!!”
“Kue coklatku dalam tiga tahun. Aku berada di surge,” ujarku sambil memejamkan mata, lalu membukanya lagi dan melihat Putri menatapku dengan jengkel.
Aku kembali mengoles selai coklat ke rotiku dan Putri bertanya, “Jadi, apa yang kau pelajari di sekolah hari ini?”
Aku tertawa. “Kau benar-benar terdengar seperti seorang ibu sekarang.”