Kembali Lagi

Bla
Chapter #9

Teman

“Pacar?” tanya Hindra bingung.

 “Iya, bro. Yang asyik,” ujar temannya sambil tersenyum.

 Wah, benar-benar ya.

“Um, Mikha, apa aku boleh minta air putih?” tanyaku.

Dia mengangguk. “Ya, ambil saja di sana.”

Jari telunjuknya menunjuk ke arah konter dekat dengan teman suamiku. Bagus sekali.

Aku mengangguk dan beranjak untuk mengambil air. Kutuangkan ke gelasku lalu berpura-pura tergelincir, membuat air dari gelasku terciprat ke rambut teman suamiku.

 “Aduh!” serunya lalu melihatku. “Apa-apaan kau?”

 Aku berpura-pura merasa bersalah. “Aduh, maaf om, tidak sengaja.”

 Dia mendengus kesal. Jika kuperhatikan lagi, dia tidak ada bagus-bagusnya.

 Perut buncit, rambut nyaris botak, mata sipit.

 Benar-benar jauh dengan suamiku yang sempurna.

 Aku menoleh ke suamiku. “Say- ah, om. Tante Dewi di mana?”

 Hindra tertegun, seperti kehilangan kata-kata.

 Temannya malah menyeret Hindra menjauh dariku. “Ah, anak-anak tidak akan paham, ya. Ayo, Ndra, kita nonton TV aja.”

 Aku mendengus kesal. Dasar menyebalkan.

 Mikha hanya terbengong-bengong melihat kejadian ini dan aku tersenyum. “Ayahmu terlihat seperti orang baik.”

 “Um…iya?” Mikha tidak tahu harus menjawab apa.

 Aku menarik napas dalam-dalam dan menyuapkan es krim ke mulutku, kembali meluncur ke kursi ruang makan.

 Lihat saja, aku tidak akan membiarkan Hindra meninggalkanku.

***

Keesokan harinya di sekolah, aku masih mengalami kesulitan dalam bergaul.

Yah, syukurlah aku sempat bertemu beberapa murid baik yang mau berteman denganku, tapi aku benar-benar tidak memahami bahasa mereka.

Bahkan tren saat ini, aku benar-benar tidak tahu. Semuanya terdengar asing bagiku. Apakah Michael Jackson sudah tidak menarik lagi, ya?

Mereka lebih menyukai artis dengan nama-nama aneh sekarang, yang membuatku tidak berkesan sama sekali.

Oh, tidak hanya itu. Aku benar-benar mengalami kesulitan saat belajar, terutama saat kelas komputer.

Jujur saja, aku memang bisa menggunakan bahasa pemograman, tapi aku benar-benar terkejut betapa berkembang pesatnya teknologi saat ini. Seolah-olah aku berada di dunia lain.

Saat jam istirahat, aku memutuskan untuk menyendiri di taman dekat lapangan basket yang sepi, berusaha menyakinkan diriku sendiri bahwa aku pasti bisa.

Konsentrasiku pecah saat aku menemukan Mikha sedang berada di pojok lapangan basket sekolah bersama Kevin.

 Entah mengapa, aku sama sekali merasa tidak nyaman melihat mereka berdua duduk berdampingan jauh dari kerumunan orang.

 Aku berjalan lambat-lambat mendekati mereka, berusaha menguping pembicaraan.

 Bersembunyi di balik semak-semak, aku memasang telingaku, berusaha mengikuti alur pembicaraan mereka.

 Saat aku sudah cukup dekat, aku mendengar Kevin berbicara, “Kau tahu, kita sudah enam bulan berpacaran. Dan aku tahu kau mencintaiku. Tapi aku butuh bukti itu, dan…kau tahu, untuk membuktikan cintamu padaku, kita bisa menginap di hotel dan…kau tahu.”

Lihat selengkapnya