“Kau sempat menampar bocah di sekolah?” tanya Putri saat kami sedang sarapan.
Aku berhenti mengunyah roti dan bertanya dengan mulut penuh. “Dari mana kau tahu itu?” Remah-remah roti melompat ke mana-mana, membuat Putri jengkel.
“Ih, habiskan dulu makananmu baru bicara,” tukasnya.
Aku menelan bulat-bulat. “Dari mana kau tahu?”
Putri mendengus. “Dari Youtube. Ada yang merekam kau menampar bocah laki-laki di lapangan basket. Apa yang kau pikirkan?”
Aku mendesah. Benar, pasti ada yang melihat kejadian itu dan merekamnya. Menyebalkan sekali.
“Entahlah.”
“Siapa bocah itu? Dia sempat macam-macam denganmu?”
Aku menggeleng. “Tidak.”
“Terus? Jangan setengah-setengah kalau bercerita,” tukasnya lagi.
Bibirku bergetar saat mengingat kembali kejadian itu. “Itu pacar Mikha. Dia berkata pada Mikha bahwa dia ingin Mikha membuktikan cintanya padanya dengan cara berhubungan badan di hotel.”
Putri menyemburkan jus jeruk dan air jeruk asam dingin itu membasahi wajahku.
“Astaga, Put! Yang benar saja! Aku baru saja mandi!” seruku kesal.
“Aduh, maaf. Kau serius?” Dia mengelap bibirnya dengan serbet.
Aku menganggukkan kepala, menyeka sisa jus jeruk di wajahku dengan serbet lalu kembali mengunyah rotiku, berusaha mengingat kembali kapan terakhir kali aku benar-benar berbicara dengan Mikha.
Sepertinya sudah lama sekali.
Semenjak dia SMP, aku tidak pernah lagi memerhatikannya. Aku bahkan tidak tahu bahwa dia jago bahasa pemrograman seperti sekarang ini sekaligus jago bermain gitar elektrik.
Jujur saja, aku bahkan tidak menyangka dia menghabiskan waktunya dengan membuat game keren sekaligus mempersiapkan diri mengikuti audisi.
Aku terlalu egois selama ini.
“Kau harus melaporkan ini kepada kepala sekolah. Ini keterlaluan.” Putri menyesap jus jeruk dengan mata membelalak.
“Aku ingin Mikha belajar untuk melawan bajingan itu.” Aku bangkit dan meletakkan piringku di wastafel dan mencucinya.
“Lalu, kau mau ke mana hari ini?” tanya Putri.
“Aku mau ke rumahku lagi. Aku ingin menghabiskan akhir pekan ini bersama mereka.”
Putri manggut-manggut setuju. “Ide bagus.”
Membayangkan Mikha membuatku sempat bermimpi semalam, mimpi mengenai masa-masa awalku di SMA.
Saat itu aku sedang mengendarai motor ke sekolah, dan aku tidak mengira akan apa yang terjadi.
Aku memasukkan semuanya ke dalam tasku, menyampirkan tali di pundakku, dan menarik napas dalam-dalam.
Aku bisa melakukan ini, aku berbohong pada diriku sendiri. Tidak ada yang akan menggigitku. Aku akhirnya menghembuskan napas dan melangkah memasuki gedung sekolah.
Aku berusaha menundukkan wajahku ketika aku berjalan ke trotoar, penuh sesak remaja. Jaket hitam polosku tidak menonjol, aku merasa lega.
Dulu aku sangat pemalu, jauh sebelum aku menjadi primadona di sekolah.
Begitu aku berkeliling kantin, aku merasakan napasku perlahan-lahan merayap menuju hiperventilasi ketika aku mendekati pintu. Aku mencoba menahan napas ketika aku mengikuti dua orang melalui pintu.
Ruang kelas itu kecil. Orang-orang di depanku berhenti tepat di dalam pintu, menggantungkan mantel mereka di barisan panjang kait. Aku mengikuti mereka. Mereka adalah dua gadis, satu berambut pirang berwarna porselen, yang lainnya juga pucat, dengan rambut cokelat muda.
Setidaknya kulitku tidak akan menonjol di sini.