Kembali Lagi

Bla
Chapter #11

Keluarga

“Om,” sapaku lalu menunduk memberi hormat.

 Dia terdiam beberapa detik sebelum berkata, “Ah, ya, halo. Temannya Mikha. Silahkan masuk.”

 Aku mengangguk dan memasuki rumah, benar-benar merasa aneh bertamu di rumah sendiri.

 “Bagaimana kabarnya, Om?” tanyaku sopan.

 Dia menutup pintu lalu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Itu sikapnya saat merasa canggung. “Ah, baik, baik. Bagaimana denganmu?”

 “Baik, om.”

 Menyesal. Bersalah.

 Itulah yang aku rasakan pada saat ini. Aku berharap bisa memutar balik waktu sehingga aku bisa kembali, memperbaiki kesalahan - yang terburuk dari semua yang aku lakukan.

 Namun, aku tidak bisa. Mustahil.

 Aku hanya bisa mencoba membuat masa depan yang lebih baik.

 Setelah dipikir-pikir lagi, aku orang tua serta istri yang buruk.

 Aku bertanya-tanya apakah itu yang terjadi ketika mengambil cinta yang kuat dan mencampurkannya dengan ketakutan.

 Seperti setiap keputusan yang pernah dibuat, mereka didasarkan pada kombinasi fakta yang ada dan kepribadian yang terlibat.

 Rasa takut dan cinta datang dan malah membuatku seperti menghilang dari keluargaku, tidak pernah berjalan di samping mereka, dan tidak siap untuk menangkap mereka jika mereka jatuh.

 Rasa takut di mana aku takut tidak pernah menjadi cukup baik untuk keluargaku justru menghancurkan segalanya.

 Cintaku tidak pernah bersyarat atau terbatas, tidak memiliki tanggal kedaluwarsa, tetapi aku justru gagal menunjukannya pada mreka.

 Yang perlu diketahui oleh keluargaku adalah bahwa aku mencintai mereka sampai kapan pun.

 “Wah, saya harus terbiasa dengan ini,” gumam Hindra lalu tertawa gugup.

 Aku mengangkat alis, tidak paham apa yang dia maksudkan. “Maaf?”

 “Kau benar-benar anaknya Putri? Karena jujur saja, saya bahkan tidak tahu kalau dia sudah menikah.”

 Aku mengangguk. “Ya, ya. Ayah saya orang Australia jadi mereka menikah secara diam-diam di sana. Saya sempat di sana dari TK sampai SD.” Benar-benar menyedihkan harus berbohong seperti ini.

 Setidaknya aku merasa lega bahwa suamiku mengenaliku, dia hanya berusaha menyangkalnya.

 Dia mengangguk. “Um, Mikha sedang mandi katanya. Mungkin kau bisa menunggunya sebentar?”

 “Tentu. Om sedang melakukan apa?”

 Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal lagi, lalu menelusuri rambutnya yang acak-acakan dengan jarinya. Jika aku sedang di wujudku yang normal, aku mungkin sudah menciumnya sekarang.

 “Ah, saya sedang merenovasi ruangan di sebelah sana. Um, kau mau lihat?”

 “Tentu,” seruku penuh semangat.

 Dia terkekeh. “Baiklah.”

 Aku mengikutinya menuju ruangan di mana dia sempat memberitahuku bahwa dia berencana mengubahnya menjadi sebuah TK.

 Jujur saja aku tidak percaya dia berniat melakukannya. Namun saat aku memasuki ruangannya, aku nyaris mencubit tanganku sendiri untuk memastikan aku tidak sedang bermimpi.

 Walaupun masih berantakan, tapi jelas dia sudah menyisakan waktunya untuk mengurus ini.

 Temboknya sudah dicat dan didekorasi dengan wallpaper lucu.

 Perabotan seperti meja dan kursi sudah ada namun masih berantakan.

 Terdapat rak buku kosong di samping kiriku, membuatku nyaris meneteskan air mata.

 Astaga, dia benar-benar niat membuatkan sebuah TK untukku.

 “Wow,” gumamku takjub.

 “Yah, masih banyak yang harus dikerjakan,” jelasnya sambil bersedekap. “Ruangan ini tidak pernah dipakai, dan sangat luas. Jadi saya kira yah sudahlah diubah saja menjadi TK. Saya sudah mengurus izinnya. Tinggal merenovasi saja.”

 Aku mengangguk sambil memindai sekitar.

 “Jadi, saya berniat untuk membuatkan ruang kelas di sini.” Tangannya menunjuk bagian tengah ruangan. “Lalu ada pojok dengan rak buku sebagai perpustakaan mini.” Tangannya lalu menunjuk ke sudut ruangan. “Nah, nanti di langit-langit saya berniat memasang lampu-lampu kecil warna-warni agar terlihat lebih menarik.”

Lihat selengkapnya