Bel pintu depan berdering lagi, membuat kami berdua tersentak kaget.
“Ayah! Ada orang di depan!” teriak Mikha. Dia lalu berlari ke ruang depan, menemukan kami berdua.
Alisnya terangkat, seperti meminta penjelasan.
Hindra hanya tersenyum lalu berjalan menuju pintu depan, sementara aku tertawa gugup.
Mata Mikha melebar, seperti mencurigai sesuatu tapi aku langsung mencubitnya. “Hei, mana jusnya?”
“Um, ada di dapur.”
“Astaga, aku minta ya? Haus sekali.”
Dia mengangguk. “Tentu.”
“Kya! Kak Hindra!” seru sebuah suara. Suara seorang perempuan.
Genit. Menjijikan. Membuatku bergidik ngeri. Membuatku berbelok dari yang awalnya berniat ke dapur malah berjalan menuju pintu depan.
Perempuan itu cantik, tetapi melihatnya dekat-dekat dengan suamiku membuatu melihatnya sebagai perempuan terjelek yang pernah ada.
Dia berkulit putih, mulus, mungkin setiap hari ke salon.
Dia memiliki sepasang mata cokelat kopi paling indah dipangkas oleh bulu mata panjang yang indah. Mata indah, namun entah bagaimana lembut, itu selalu memegang kehangatan kecil di dalamnya.
Pipi kemerahan dan bibir yang diukir dengan sempurna, seolah dibuat oleh malaikat sendiri; dari jauh pun aku bisa melihatnya dengan jelas, berkilau menarik dengan lip balm ceri yang menambah warna kemerahan lebih lanjut.
Semua fitur ini disatukan pada wajah malaikat yang nyaris halus.
Tidak, bukan malaikat.
Dia adalah iblis.
Iblis yang berniat mencuri suamiku.
Tidak akan kubiarkan.
“Aldi mengajakku untuk ikut dan aku kebetulan tidak ada acara. Oh, ya aku lapar. Ayo, kita pergi.”
Hindra mendesah lalu menatap Adi dengan garang. “Di, aku tidak meminta ini. Kenapa harus begini?”
Aldi nyengir. “Kau butuh refreshing, bro.”
Hindra menggelengkan kepala. “Bukan begini caranya.”
“Kenapa memangnya?” tanya perempuan itu.
“Aku sudah punya istri,” jawab Hindra tegas, membuatku merasa puas.
Tunjukkan pada perempuan itu bahwa kau memiliki seorang istri yang luar biasa.
Perempuan itu tidak menyerah dan malah bertepuk tangan. “Wah, benarkah? Kalau begitu, ajak saja dia. Aku ingin sekali melihat istri kakak, ayo perkenalkan padaku.”
Hindra mundur selangkah. “Ah, bagaimana ya?”
Perempuan itu maju selangkah. “Aku harus memastikan langsung apakah istrimu itu baik untukmu atau tidak. Aku ini hebat dalam hal itu. Apalagi kakak itu baik dan tulus, jangan sampai memiliki istri yang jahat.”
Kemarahan mendidih jauh di sistemku, panas seperti lava.
Itu bergejolak di dalam, haus akan kehancuran, dan aku tahu terlalu banyak untuk aku tangani.
Tekanan dari amarah yang mengamuk ini akan memaksaku untuk mengatakan hal-hal yang tidak aku maksudkan, atau untuk mengekspresikan pikiran yang telah aku tekan selama berminggu-minggu.
Tapi aku tetap melangkah maju.
“Ih, menggoda suami orang. Tidak punya harga diri,” gumamku, dan itu cukup terdengar oleh mereka semua.
Hindra dan yang lain menoleh ke arahku, terkejut mendengar ucapanku.