Aku beranjak menghampiri Mikha, menemukannya sedang menyuapkan es krim ke dalam mulutnya sambil bermain game di Nintendo Switch.
Aku tersenyum. “Hai.”
Dia melambaikan tangannya. “Mau es krim? Ini masih ada satu, sudah aku ambilkan.”
Terdapat satu mangkuk besar es krim coklat di kursi di sebelahnya.
Tanpa berpikir lagi, aku meraih mangkuk tersebut dan menyantapnya.
Es krim memenuhi penglihatanku, balok dingin dalam banyak warna, masing-masing membeku sampai sentuhan kehangatan mengubah mereka menjadi manis.
Aku ingat dulu saat aku masih hamil dengan Mikha, aku selalu mengidam es krim setiap malam.
Ternyata ini menjadi makanan kesukaannya, sama sepertiku.
Aku ingat dulu Hindra benar-benar kewalahan dengan diriku yang mengidam es krim.
Lemari es ditumpuk tinggi dengan semua es krim favoritku, mulai dari rasa selai kacang cokelat, raspberry dan vanilla ... tapi ada lebih banyak, lebih banyak lagi!
Ketika aku mengidam dan mulai menangis di malam hari, Hindra akan dengan sigap berlari ke dapur dan mengambil es krim untukku.
Dia memang paling tidak suka dibangunkan pada malam hari hanya untuk hal sepele, tapi demi aku dia rela bangun dan menyiapkan es krim istimewa khusus untukku.
Dengan mata mengantuk, dia berlari ke sana kemari untuk menyiapkan es krim lalu menghidangkannya tepat di hadapanku.
Karena itu pula, aku jadi berkesempatan mencoba berbagai macam rasa es krim, dan bagiku tetap rasa coklat yang menang.
Terkadang aku meminta Hindra untuk menyalakan TV atau musik yang bisa menemaniku makan, benar-benar konyol.
Aku juga ingat bahwa mencoba berbagai macam rasa es krim bersama Hindra saat masih berpacaran merupakan sebuah petualangan.
Bahkan setelah kami memutuskan di mana mendapatkannya dan bagaimana menuju ke sana, berjalan ke toko es krim berlantai ubin hitam dan putih membuat kami merinding mungkin karena dingin yang selalu ada tetapi juga dari kegembiraan membayangkan kacang Oreo swirl atau double ice chocolate ice cream, demi Tuhan kami berusia 18 tahun saat itu, tetapi bahkan ketika gagasan bahwa es krim dapat membuat gemuk, es krim tetap memberi kami kegembiraan yang kebanyakan orang tidak bisa mengerti.
“Sedang apa kau?” tanyaku pada Mikha sambil menyuapkan es krim ke mulut.
“Sedang bermain game,” jawabnya tanpa mengalihkan pandangan dari layar.
Sempat terjadi keheningan yang panjang dan aku berdeham tiga kali, mencoba menarik perhatian Mikha.
Entah mengapa, aku benar-benar ingin tahu mengenai hubungannya dengan Kevin. Meskipun akhir-akhir ini dia belajar bersamaku, tapi aku tetap ingin tahu bagaimana kelanjutannya.
Mikha menyadari diriku yang berdeham-deham dari tadi lalu melotot. “Apa yang ingin kau katakan, Gita? Katakan saja.”
Aku menelan ludah, berharap bahwa Mikha tidak akan marah. “Aku ingin berbicara soal Kevin.”
Dia meletakkan Nintendo Switch miliknya di atas pangkuan sementara mangkuk es krim di kursi sebelahnya yang kosong lalu menatapku dengan was-was. “Ya?”
Aku mengangkat kedua tanganku dan dia pun mengikutinya, membuat kami berdua nyaris tertawa. Lalu aku kembali serius. “Aku ingin tahu mengapa kau berpacaran dengannya. Dan apa kalian masih berpacaran?”
Mikha menatap langit-langit, seperti berusaha mencari jawaban dan itu menamparku. Dia bahkan tidak tahu mengapa dia berpacaran dengan psikopat itu. Aku malah ingin tahu bagaimana mereka bisa berpacaran?