Aku memutuskan untuk pulang, tidak mampu mendengar suara tangisan anakku di sana.
Kuraih ponselku dan menelpon Putri; memintanya menjemputku. Seperti biasa, dia mengomeliku panjang lebar layaknya seorang ibu dan berhasil membuat telingaku menjadi panas sebelum dia menutup telpon.
Sekitar setengah jam, aku menghabiskan waktu dengan mencoba beberapa hidangan sampingan yang ada sambil menunggu Putri menjemputku.
Aku tidak berani berpamitan kepada Hindra, masih merasa canggung karena kejadian tadi ditambah aku telah membuat Mikha menangis, sehingga aku yakin bukan ide yang bagus jika aku menghampirinya lagi.
PIP! PIP!
Aku meraih ponselku dan mendekatkannya ke telinga. “Ya?”
“Aku sudah sampai,” ucap Putri.
Aku mematikan ponsel dan berlari keluar gedung. Tidak terlalu sulit untuk menemukan satu-satunya mobil sport di parkiran.
Setelah aku masuk mobil, aku mendesah dan tidak mampu berkata-kata.
“Ada apa?” tanya Putri.
Aku menggelengkan kepala dan memasang sabuk pengaman.
“Ada apa?” tanya Putri lagi sambil menginjak gas dan menyetir keluar parkiran, menuju jalan raya.
“Nanti saja, Put,” ucapku malas dan memandang keluar jendela.
Dia mengatup rapat-rapat mulutnya, tahu bahwa aku membutuhkan waktu untuk diriku sendiri.
Sesampainya di rumah Putri, aku berlari ke kamarku dan melepaskan segala emosi yang berkecamuk dalam diriku.
Air mata mengalir deras di pipiku dan menetes dari daguku.
Aku terlalu sedih untuk menangis atau meratap, aku hanya berdiri di sana sebagai patung sementara besarnya kehilangan melanda diriku.
Aku tersesat dalam pusaran panas terik saat ini. Aku selamanya tersiksa oleh masa lalu yang tidak bisa dibatalkan.
Air mata mengalir seperti air dari bendungan, menumpahkan wajahku.
Aku merasakan otot-otot daguku gemetar seperti anak kecil dan aku melihat ke arah jendela, seolah-olah cahaya itu bisa menenangkanku.
Ada yang statis di kepalaku sekali lagi, efek samping dari rasa takut yang terus-menerus ini, stres yang terus-menerus aku alami.
Aku mendengar suaraku sendiri, seperti anak kecil yang tertekan, yang terdengar dari dalam.
Air mata mengalir dari pelupuk mataku dan tangisanku meledak. Aku menangis terisak ke tanganku dan air mata menetes di antara jari-jari, menghujani meja. Napasku kacau, terengah-engah, benar-benar parah.
Air mata mengalir di wajahku, seperti air yang mengalir melalui saluran air, menggosokkan garam ke luka hatiku yang terbuka.
Aku menggigit lidahku, berusaha menahan air mata yang mengancam akan meninggalkan mataku. Dan saat itulah aku tidak bisa menahannya.
Pertama, satu kristal kecil keluar dari mata kananku. Aku bisa merasakan kehangatan, meluncur turun di pipiku, dan menggulung di daguku.
Lalu yang lain.
Dan satu lagi.
Sampai mataku membanjiri mereka, datang seperti hujan. Mengendus setiap sepuluh detik, mereka jatuh, dan jatuh, dan aku membiarkan mereka.
Mataku meneteskan air mata terus menerus. Dindingku, dinding yang menahan diriku, membuatku kuat sekarang ... runtuh. Saat demi saat, aku seperti terjatuh. Tetes asin jatuh dari daguku, membasahi bajuku.
Aku gemetaran. Aku tidak bisa -tidak bisa berhenti.
Semuanya mentah, air mata mentah, emosi mentah. Aku tidak bisa berhenti ... Aku tidak bisa berhenti. Kenapa aku tidak bisa berhenti menangis?
Aku menangis sampai tidak ada lagi air mata yang mengalir, tetapi kekosongan dan kesedihan masih ada.
“Hei, ada apa?” tanya Putri yang memasuki kamarku tanpa mengetuk pintu.
Kali ini aku tidak kuat menegurnya dan hanya mendesah.
“Anakku. Anakku, Mikha. Dia….dia tidak ingin berkuliah di UI dan malah ingin menikah dengan anak psikopat itu.”
Putri membelakkan matanya. “Yang benar? Kau serius?”
Aku menganggukkan kepalaku. “Benar, aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku merasa seperti orangtua yang buruk.”
Putri mendesis lembut. “Tidak, kau tidak buruk. Justru kau sudah berusaha semaksimal mungkin, sayang.”
“Aku tidak ingin dia hidup sengsara nantinya.”
Putri menganggukkan kepalanya. “Aku tahu. Maka dari itu, besok coba temui dia lagi dan berbicara lagi dengannya.”
“Dia tidak akan mau mendengarkanku,” dengusku kesal.
Putri mendesah. “Cobalah. Coba saja. Siapa tahu bisa.”
Ada kalanya otakku marah.
Bukan alasan aku tahu; aku memiliki perilaku seperti ini. Aku mencoba membantu, berusaha menjadi baik, dan kemudian sebuah pemicu meledak. Emosiku berubah - dingin, takut, cemas ... aku mundur, melarikan diri atau menyerang seseorang yang mencintaiku.
Pada saat-saat ini aku paling tidak bangga dengan siapa aku, karena aku gagal menjadi pejuang sejak aku dilahirkan, wanita kuat dengan kelembutan seorang ibu.
Sebaliknya aku menunjukkan anak yang ketakutan di dalam, rusak dan takut, yang masih bersembunyi dalam gelap.