Aku menepis genggamannya dan berlari semakin cepat, menjauhi dia lalu berbelok ke kanan, menuju jalan sepi.
Tangisanku pecah dan rasa bersalah membanjiriku.
Penyesalan ini muncul kembali, menerjangku bagaikan badai.
Andai saja, aku kembali ke wujudku, aku tidak akan melakukan kesalahan yang sama lagi.
Aku…aku ingin bersama keluargaku lagi.
“Aku menyayangi mereka…dan aku merindukan mereka,” bisikku.
Tiba-tiba sebuah cahaya putih muncul dari dadaku.
Itu adalah cahaya halaman baru di bawah sinar matahari musim panas, jenis yang membawa senyum bahkan ketika aku membiarkan mataku beristirahat sejenak.
Itu adalah jenis cahaya yang menyalakan sesuatu yang indah di dalam, dan pada saat yang sama menggerakkan koneksi dengan alam sekitar.
Itu adalah salah satu dari hari-hari jiwa begitu bersemangat itu mulai bergabung dengan setiap makhluk hidup, memancar, beresonansi, mengangkat ...
Jenis cahaya yang membakar retina membuatku menutupnya karena takut menjadi buta; cahaya yang akan membuat salju segar terlihat abu-abu dan kusam.
Itu adalah cahaya untuk menyaingi matahari itu sendiri.
Warna-warna yang bersinar dalam cahaya terang itu adalah kekayaan yang hanya dapat dihasilkan oleh alam, jenis cahaya yang berbeda dari kolam emas lampu jalan.
Entah bagaimana itu lebih dari sekadar cahaya dan molekul pada saat itu, seolah-olah bersama-sama mereka adalah sesuatu yang lebih besar daripada keduanya yang bisa sendirian.
Berkilau seterang sinar matahari menerangi lautan saat fajar; bersinar dan bersinar, lalu menghilang.
Aku menatap sekitar lalu mengangkat tanganku.
Jari-jariku yang awalnya mulus, sekarang berkeriput.
Aku menyentuh pipiku yang awalnya sehalus sutra, sekarang terasa berbeda. Mataku melirik ke jendela di salah satu bangunan dan menemukan wajah tuaku telah kembali.
Wajah yang kurindukan…
Seminggu…waktuku sudah habis…dan jujur saja, aku bersyukur sudah habis.
Aku mendapatkan pelajaran yang sangat berharga dari perubahan ini: syukuri apa yang aku miliki dan aku pun sadar bahwa keluarga adalah segalanya bagiku.
Langkah kaki seseorang dapat kudengar dan aku menoleh, menemukan suamiku berdiri di sana dengan napas terengah-engah.
“Dewi?” bisiknya.
Aku tersenyum dan mengambil langkah demi langkah secara perlahan menuju dirinya.
Hujan datang sebagai sejuta fragmen jiwa dalam paduan suara bersama-sama, semua meminta air dan sinar matahari dan biji berevolusi untuk mewariskan semua ciptaan.
Hujan datang seolah-olah bermaksud untuk menyiramiku, untuk berbagi kekuatan hidup yang melimpah, untuk memelihara jiwaku sampai siap untuk hadir di dunia, siap untuk melihat dengan mata yang segar.
Setiap langkah adalah doa kecil dan janji untuk membantu membangun dunia yang lebih baik.
Di tengah hujan, rambut Hindra menjadi satu dengan wajahnya, dengan basah menutupi struktur tulangnya.
Hujan mengguyur seolah-olah itu berarti untuk mengalahkan seluruh kota ke trotoar. Orang-orang berlalu dalam kekacauan hiruk pikuk, semua orang berpikiran untuk tujuan mereka - semua kecuali kami.
Saat kami sudah berdiri cukup dekat, Hindra membelai rambut hitam panjangku dan menarikku ke dadanya. Kehangatan hidup bersama kami dan menjadi bahagia membuatku semakin lebih menginginkan pengampunan.
Dulu aku berpikir bahwa pengampunan adalah kelemahan, tetapi sama sekali tidak; dibutuhkan orang yang sangat kuat untuk memaafkan dan meminta maaf.
“Ternyata selama ini…kau selalu berada di sampingku,” bisiknya.
Dia melingkarkan tangannya di bahuku dan menarikku semakin dekat, dengan lembut menggosok lengannya. Meskipun perutnya terasa berat, perutnya berkibar saat merasakan tubuhnya menekanku. Aku tenggelam dalam kehangatan sisinya, menghargai gerakan sederhana itu. Sentuhannya membuat ruangan itu terasa lebih hangat.
“Kau tidak perlu mengejarku,” bisikku.
“Tentu saja aku akan mengejarmu, hingga ujung dunia jika perlu. Aku mencintaimu, dan kau adalah hal terbaik yang terjadi pada hidupku.”
“Tidakkah kau memiliki penyesalan selama bersamaku?” tanyaku, mendongak menatapnya.
Dia tersenyum. “Tidak, aku tidak memiliki penyesalan apa pun selama bersamamu. Justru aku bahagia sekali bersamamu. Seperti yang aku bilang tadi, kau adalah hal terbaik yang pernah terjadi dalam hidupku.”
Dia kembali memelukku, pelukannya hangat, dan lengannya yang besar dan kuat tampak sangat protektif ketika melilit tubuhku yang lemah. Dunia di sekitarku meleleh saat aku meremasnya kembali, tidak ingin momen itu berakhir.
“Kamu juga merupakan hal terbaik yang pernah terjadi dalam hidupku, Hindra. Maafkan aku karena telah bersikap egois dan bodoh akhir-akhir ini. “
Dia menundukkan kepalanya, menatapku lalu tersenyum. Dia menatapku dengan wajah yang ternoda air mata dan menciumku.
Dia menciumku dan dunia jatuh.