Bram mengurung diri di dalam kamar. Dia pulang karena Raden tak ada di rumah, hanya bertemu ibunya Raden saja.
Karena maksudnya bertamu ke rumah Raden itu untuk mengkonfirmasi cerita yang didengar Bram dari ibunya, maka dia pun mencari tahu dari ibunya Raden.
Sambil duduk di kursi kerjanya, Bram kembali mengingat percakapan singkat yang sukses membuatnya bergidik tak percaya.
Berdasarkan pengakuan ibunya, Raden benar melontarkan perkataan yang jahat. Beruntung saat itu setan tak lewat, jika ada bisa jadi di televisi akan ada kabar seorang anak tega mengambil alih tugas malaikat maut untuk mencabut nyawa ibunya sendiri, semua karena hutang.
"Ya, Nak Bram ... Raden tahu-tahu meledak, dia bilang memiliki hutang karena Ibu. Seandainya Ibu tak sakit keras waktu itu, mungkin Raden tak akan timbul amarahnya seperti pagi tadi. Sampai Ibu kaget, dari mulut Raden bisa-bisanya keluar perkataan maut."
Perkataan ibunya Raden beberapa waktu lalu, terekam di benak Bram.
"Raden, berapa sih hutang lu sebenarnya? Apa lebih dari sepuluh juta?" Bram bicara pada dirinya sendiri.
"Seandainya gue .... " Bram tak jadi bicara.
Bram bangkit dari duduknya, dia berjalan ke arah lemari pakaian. Pintu lemari dibukanya, lalu tangannya menarik keluar laci lemari.
Mata Bram tertuju pada buku rekening yang ada di dalam laci.
Buku rekening pun telah berpindah dari laci ke tangan Bram.
"Ya, cuma ada tiga juta kurang," ucap Bram setelah membuka buku rekening dan melihat isi nominal uang tabungannya.
"Apa semuanya gue kasih ke Raden aja atau dua juta saja, sisanya buat pegangan?" Bram tanpa sadar menaruh telapak tangan kirinya di atas kepala.
"Tapi apa Raden mau terima? Dia kan cukup besar harga dirinya!" Bram meragu.
"Ah, masa dia nolak. Kan dia nggak ada kerjaan tetap. Eh, sama sih kayak gue, ding!" Bram geleng-geleng kepala.
"Coba aja deh, siapa tahu dia mau!" Bram telah memutuskan untuk memberikan uang tabungannya ke Raden.
Tapi berapa besar yang harus Bram kasih ke Raden, dia berpikir sebaiknya Raden saja yang memutuskan berapa maunya.
"Telepon dia deh!" Bram mencari ponselnya.
Bram menaruh ponselnya di dalam celana panjang yang dia gantung. Tadi dia lupa mengeluarkan dari dalam saku celana.
Biasanya Bram selalu memakai celana pendek di rumah, baru ketika keluar rumah dia menggunakan celana panjang.
Ponsel telah di tangan, tapi waktu Bram berusaha menelepon Raden yang menjawab itu suara rekaman operator.
Raden tak bisa dihubungi.
***
"Bram dipanggil Ayah mu, tuh!"