Bram pamit pulang, dia sebenarnya tak berencana untuk segera berpisah dengan Raden. Dia masih belum puas berbicara berdua, belum sepenuhnya bisa menyakini temannya itu jangan sampai mengambil jalan pendek.
Tetapi telepon dari bapaknya yang mengatakan motor ingin dipakai, membuat Bram harus pulang.
"Janji ya, lu nggak macam-macam. Ingat nyokap lu masih butuh diri lu!" pesan Bram sebelum pergi.
"Iya, gue tahu! Nanti habis curhat sama bokap, gue balik." Raden menepuk bahu kiri Bram.
Bram yang sudah duduk di atas motornya, lalu menyalakan mesin motor.
"Ok, gue pulang!" Bram mengajak Raden tos.
Mereka melakukan tos, lalu bersalaman dengan erat.
Akhirnya mereka pun berpisah.
Bram pergi dengan motornya, sementara Raden kembali masuk ke dalam warung.
***
"Pak, apa yang harus aku lakukan?" Raden duduk bersimpuh di samping sebuah kuburan.
Di dekat Raden ada lilin yang menyala dan juga obat nyamuk. Dia membeli keduanya di warung tempat dia ngopi tadi.
Suara binatang malam yang bernyanyi pun terdengar, tentu bukan ini jawaban yang ingin di dengar Raden. .
Suasana pemakaman umum tak terlalu gelap, tapi juga tak terang. Beberapa tiang lampu yang dipasang hanya menggunakan lampu ber-watt kecil. Jadi tak bisa menerangi seluruh area makam. Karena itu Raden butuh cahaya lilin sebagai penambah penglihatan matanya.
"Hutang ku sudah terlalu banyak Pak. Kurang lebih lima belas juta atau mungkin lebih, aku lupa!" Raden kembali berbicara.
"Entah sampai kapan hutang itu bisa lunas. Karena bunga terus bertambah. Ibu tak tahu Pak, aku telah menjual jaket kulit peninggalan Bapak." Raden mendesah sedih.
Sepeninggalan bapaknya lima tahun lalu, Raden begitu menjaga tiga jaket kulit warisan bapaknya.
Bapaknya Raden bukan orang kaya, jadi tak banyak warisan yang bisa ditinggalkan ketika ajal menjemput.
Meski begitu, Raden sangat menyayangi ketiga jaket kulit peninggalan bapaknya. Malah pernah dulu Bram ingin membayar satu, dia tolak.
Tapi akhirnya ketiga jaket itu pun harus terlepas dari tangan Raden, karena dia butuh untuk membayar bunga hutang. Tak hanya jaket, ada beberapa barang pribadinya yang juga ikut terjual. Semua untuk menutupi bunga hutang.
"Sekarang aku tak tahu bagaimana cara membayar bunga hutang Pak. Uang yang aku kumpulkan setiap hari, jika dihitung tak cukup. Belum lagi aku terkadang harus menambah beli obat ibu. Ibu sudah tak seperti dulu Pak, tenaganya tak kuat untuk bekerja sebagai pembantu lepas di rumah Ibu Dewi," keluh Raden panjang.
Dewi yang disebut Raden itu istri dari seorang sesepuh RW. Tak terlalu kaya, tapi baik pada ibunya. Hanya saja saat ini ibunya tak seperti dulu tenaganya dan keadaan keuangan Dewi pun sedang limbung.
Walhasil Raden lebih sering melihat ibunya berdiam diri di rumah, tak terlalu sering ke rumah Dewi untuk bekerja atau sekedar menemani tuan rumah.
"Tadi pagi, aku sempat marah pada Ibu, Pak. Aku dikejar penagih hutang yang mengatakan besok batas waktu pembayaran bunga. Eh, Ibu malah pancing kemarahanku dengan menyalahkan, kenapa harus meminjam banyak uang!" Wajah Raden mulai dihiasi air mata.