KEMBALI PULANG

Nussaiba Zahra
Chapter #1

Kehilangan Arah

Sudut matanya kembali melirik singkat kearah layar ponsel yang menyala. Tanpa menghiraukan, dia kembali memalingkan pandangannya. Setelah beberapa saat, ponsel yang tergeletak di atas meja itu tidak lagi bergetar. Di sisi lain, perhatian si pemilik ponsel masih terfokus pada jajaran peserta meeting di ruangan ber-AC itu. Uraian berbahasa inggris mengenai progress proyek gedung bertingkat mengalir lancar dari bibirnya yang sedikit kering. Wajar saja, seharian ini laki-laki berusia 28 tahun itu belum menyentuh sedikitpun makanan atau minuman sejak adzan subuh berkumandang. Inshaallah dirinya akan berbuka puasa dalam beberapa jam lagi.

Memang saat ini bukanlah bulan Ramadhan, namun sejak menikah 2 tahun lalu, laki-laki itu berkomitmen untuk tidak pernah meninggalkan puasa senin-kamis, mengikuti kebiasaan sang isteri. Sebelumnya dia hanya memperhatikan ibundanya rutin berpuasa senin-kamis. Namun setelah bertemu Annisa, dirinya merasa seperti menemukan tambahan motivasi untuk bersama-sama mengamalkan ibadah sunnah itu dalam kehidupan rumah tangga mereka.

Selama beberapa menit, presentasi bulanan itu berjalan dengan kondusif. Sekarang seorang laki-laki dengan warna rambut pirang-kecokelatan sedang menjelaskan beberapa point dari slide presentasi. Hasan memperhatikan penjelasan laki-laki itu dengan seksama sebelum sudut matanya kembali menangkap nyala layar ponsel miliknya, tanda panggilan masuk. ‘Apakah ada sesuatu yang penting?’ benaknya. Meski begitu dirinya urung mengangkat panggilan masuk itu dan memilih memfokuskan perhatiannya pada kegiatan presentasi yang sedang berlangsung.

Sejauh ini Hasan telah melaksanakan tugasnya dengan sangat baik. Dia telah menyampaikan presentasi yang singkat namun terperinci. Tidak sia-sia memang kerja kerasnya selama beberapa hari belakangan, tentu saja dengan mengorbankan waktu tidur yang berharga. Menyususn paper work sekaligus memperhatikan kinerja pekerja di lapangan bukanlah hal yang mudah bagi seorang Civil Engineer. Berbagai macam dokumentasi laporan harus disusun mengikuti jadwal yang sangat ketat. Belum lagi tekanan yang datang dari berbagai arah, menuntut perhatian dan kesigapan Hasan sebagai senior supervisor untuk selalu berada di posisi optimal. Proyek konstruksi adalah salah satu lapangan pekerjaan dengan tingkat konsentrasi, keahlian dan pertanggung jawaban yang sangat tinggi.

Setelah sesi diskusi berakhir, Hasan menutup presentasi siang itu dengan cepat. Seluruh peserta meeting sudah berjalan keluar dari ruangan, beberapa orang tersenyum kearahnya, dirinya pun balas tersenyum dengan seadanya. Hasan bukanlah laki-laki yang angkuh ataupun pemarah, tetapi bukan berarti dia juga mudah menampakkan sebuah senyuman. Hanya kepada anggota keluarganya saja terkadang senyum canggung itu bisa terlihat. Secara berangsur-angsur ruangan itu mulai beranjak kosong, meninggalkan Hasan seorang diri disana. Tubuhnya kini terduduk lemah di sebuah kursi yang terletak tak jauh dari layar proyektor. Kedua tangannya terkulai lemas diatas meja panjang berwarna putih gading yang berada dihadapannya. Dia pun menyandarkan tubuh atletisnya pada sandaran kursi dibelakangnya, dengan posisi wajah yang menengadah ke arah langit-langit ruangan. Rambut coklatnya yang dipangkas pendek terhiasi beberapa warna abu-abu mengkilat di bagian kedua sisi kepalanya. Akibat beban fikiran kata orang. Kedua matanya terpejam, seluruh energinya sudah habis terkuras. Helaan nafas panjang berkali-kali keluar dari mulutnya, bersamaan dengan ucapan 'Alhamdulillah' yang lirih.

Dirinya merasa bahagia karena setidaknya sekarang dia bisa beristirahat hingga 2 hari kedepan, sebelum rutinitas pekerjaan mulai kembali memburunya. Dalam kesunyian, yang terdengar hanyalah bunyi halus dari pendingin ruangan yang bekerja dengan baik. Meniupkan semilir hawa dingin keseluruh penjuru ruangan. Hasan memperhatikan jam analog yang melingkar di tangan kirinya, waktu menunjukkan hampir pukul 2 siang. Betapa nikmat rasanya ketika mengingat bahwa dirinya sudah menunaikan shalat dzuhur sebelum meeting tadi dimulai. Sebuah keputusan yang brilliant! Kini dirinya hanya tinggal menunggu hingga waktu ashar tiba. Selepas menunaikan shalat, dia akan mengecek ulang jobdesc lapangannya pada hari itu dan setelah memastikan semuanya selesai, dia akan segera meluncur pulang menuju rumah, sebelum kemacetan ibukota dimulai. ‘Buka puasa dirumah lebih enak’ batinnya dalam hati.

Masih dengan mata terpejam, di saat-saat seperti ini, Hasan selalu mengingat sang isteri. Perempuan jawa berkulit sawo matang itu selalu mengingatkan dirinya untuk segera menunaikan shalat setelah adzan berkumandang. Meski mereka sedang berada pada kondisi paling sibuk sekalipun. Terlebih lagi jika mereka dikaruniai waktu luang. Isterinya itu selalu berkata bahwa setiap manusia tidak akan pernah tau kapan mereka akan meninggalkan dunia ini. Betapa malang nasib mereka jika masih memiliki hutang shalat ketika ajal datang menjemput. Di samping itu, menunaikan kewajiban shalat rasanya seperti melunasi hutang, lega bukan main!

Di awal pernikahan, Hasan pernah bertanya perihal darimana sang isteri mempelajari hal tersebut. Perempuan itu pun tersenyum dengan manis kearahnya sambil memegang kedua sisi wajah Hasan, menarik dirinya mendekat. Setelah dirasa cukup dekat, wajah manis sang isteri berubah menjadi lebih serius. Selama beberapa detik lamanya, kedua bola mata jenaka sang isteri hanya menatap Hasan dalam-dalam. Lama Hasan menanti sebuah jawaban dengan perasaan harap-harap cemas. Khawatir jika ternyata sang isteri mempelajari hal tersebut dari seorang laki-laki shaleh yang dulu hampir menikahi perempuan dihadapannya itu, jauh sebelum mereka berdua sendiri menikah. Dirinya yang sangat pencemburu memang sudah mengakui sendiri sifat bawaan lahirnya itu. Meskipun kejadian tentang laki-laki itu terjadi jauh sebelum dia dan isterinya bertemu, tetap saja, pokoknya cemburu!.

Lama hanya dipandangi oleh sang isteri, Hasan tidak tahu harus merespon seperti apa. Namun pada akhirnya perempuan itu menjawab “Dari mertua-mu lah!”. Hasan pun memperhatikan sang isteri dengan pandangan bingung. Dirinya berfikir keras mencoba mencari tau arti dari kalimat yang baru saja didengarnya. Maklum, saat itu Bahasa Indonesianya masih belum terlalu fasih. Setelah sepenuhnya mengerti, Hasan kemudian secara spontan memperlihatkan wajah lega. “Alhamdulillah…” lirihnya pelan sambil mengelus dada. Seketika perempuan dihadapannya pun tersenyum lebar. Kedua tangannya melepaskan genggaman pada wajah Hasan dan bergerak cepat menutupi mulutnya sendiri, tawa renyah kini mulai berhamburan keluar. Perempuan itu merasa puas karena telah berhasil menggoda sang suami. Menyadari dirinya sedang dipermainkan, Hasan pun mulai ikut tersenyum sambil mencubit gemas kedua pipi isterinya itu dan berseru “Astaghfirullah…Awas ya kamu!”. Selorohnya dengan kalimat berbahasa Indonesia. Cara pengucapannya masih saja canggung meskipun kalimat itu sudah lama dia pelajari dari sang isteri, setiap kali Hasan usil menggodanya. Bukannya takut akan ancaman yang dilontarkannya, Hasan malah menemukan isterinya itu menjulurkan ujung lidahnya, tanda mengejek. Kemudian dengan cekatan Annisa melepaskan diri dari cubitan Hasan dan berlari kabur dari hadapannya. Setelah dirasa cukup aman, Annisa kemudian sedikit berteriak "Gak takut tuh!", dan kembali menjulurkan ujung lidahnya. Semakin bertambah gemas, Hasan pun berlari menyusul sang isteri. Pada akhirnya mereka berdua hanya berlari-lari kecil di hampir seluruh penjuru rumah dengan sesekali diiringi gelak tawa Annisa dan ancaman-ancaman kecil Hasan, "Lihat aja nanti kalo sampai aku tangkap"

Lihat selengkapnya