Setelah mendapatkan kabar tentang hilangnya Annisa dari mulut Pak Satrio, Hasan masih merasa semuanya hanyalah mimpi atau mungkin lebih tepatnya salah alamat. Bisa saja ada perempuan lain yang bernama Annisa, yang kebetulan juga mendaki di waktu yang bersamaan dan menghilang, yang jelas tidak mungkin terjadi pada Isterinya. Tetapi Pak Satrio kemudian mengirimkan foto Kartu Tanda Pengenal milik Annisa yang ditinggalkan di Pos Penjaga sebelum isterinya itu memulai pendakian. Tidak lama berselang, Pak Satrio juga menyerahkan sambungan telfon ke seorang perempuan muda yang Hasan kenali sebagai Sabrina, salah satu sahabat terdekat Annisa yang beberapa hari lalu ikut menjemput isterinya itu di rumah mereka. Annisa, Sabrina, dan adik laki-laki Annisa, berangkat bersama menuju Surabaya. Rencananya mereka akan bertemu dengan peserta pendaki lainnya di Pos Jaga Gunung Arjuno-Welirang, dan dari sana kemudian melakukan pendakian bersama-sama.
Saat itu Hasan merasakan sedikit kejanggalan. Kenapa pak Satrio tidak langsung menghubungkan sambungan telfon ke adik iparnya? Bukankah adik iparnya adalah orang yang lebih berhak untuk mengkonfirmasi berita hilangnya Annisa kepada dirinya? Dengan tenang Hasan menanyakan dimana keberadaan Azhar pada Sabrina. Dari mulut Sabrina, Hasan baru mengetahui bahwa Azhar termasuk ke dalam 3 orang pendaki yang dinyatakan menghilang. Tanpa bisa menutupi emosi yang membucah, Dia pun memburu perempuan muda itu dengan berbagai macam pertanyaan. Tentang apa yang terjadi, Bagaimana cerita awalnya hingga mereka bisa kehilangan jejak Annisa dan Azhar, dan yang terpenting dimanakah keberadaan mereka berdua sekarang. Namun jelas konyol rasanya jika Hasan mengharapkan Sabrina mengetahui jawaban dari pertanyaan terakhir yang dilontarkannya. Perempuan itu hanya bisa tenggelam dalam tangisan dan berkali-kali mengucapkan permintaan maaf. Entah mengapa. Setelah menenangkan diri, Hasan kemudian meminta Sabrina untuk mengembalikan sambungan telfon pada pak Satrio. Dirinya kemudian menanyakan perihal siapa sajakah perwalian dari pihak korban hilang yang sudah berhasil dihubungi,
“Untuk perwalian dari Ibu Annisa dan Mas Azhar sendiri, saya baru berhasil menghubungi nomor ponsel bapak Hasan. Nomor lain yang dicantumkan pada formulir SIMAKSI sampai sekarang masih belum menjawab. Nomor tersebut terdaftar atas nama wali orangtua Ibu Annisa dan Mas Azhar” jelas pak Satrio.
Hasan berfikir jika ada baiknya kabar tentang hilangya kedua kakak beradik itu langsung di dengar dari mulutnya sendiri. Terlebih lagi, di tengah-tengah situasi genting seperti ini, dirinya tidak ingin ada kesalahpahaman yang besar kemungkinan bisa terjadi di antara mertua Hasan dan juga Amira, adik perempuan Annisa.
“Saya meminta tolong kepada pihak bapak untuk jangan dulu memberitahukan perihal kabar ini kepada mereka. Biar saya saja yang menyampaikannya berita ini kepada mertua saya. Dan mulai saat ini, segala urusan terkait bisa langsung dikomunikasikan kepada saya.”
Setelah memastikan beberapa hal kepada Pak Satrio, Hasan segera mem-booking tiket penerbangan pertama untuk dirinya sendiri menuju Bandara Juanda Surabaya. Jadwal penerbangan tercepat yang bisa Hasan dapatkan saat itu tersedia di pukul 5.30 sore. Tanpa membuang waktu Hasan segera menelfon Bu Asma, perempuan yang selalu membantu Annisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga di rumah mereka. Kepada wanita berusia lebih dari setengah abad itu, Hasan meminta untuk disiapkan sebuah tas perjalanan berisikan perlengkapan yang diperlukan selama dirinya berada di Surabaya. Kepada beliau, Hasan juga menyampaikan agar Pak Ahmad, suami bu Asma, untuk pergi mengantarkan tas tersebut ke Bandara.
Dalam percakapan singkat itu, Bu Asma bertanya kepada Hasan kemanakah dirinya akan pergi di waktu yang sangat mendadak seperti itu. Untuk beberapa saat Hasan hanya terdiam, mulutnya tidak mampu menyuarakan hal buruk yang telah terjadi. Namun perlahan-lahan dirinya menjelaskan informasi tentang hilangnya Annisa dan Azhar kepada perempuan yang sudah dianggap seperti keluarga sendiri itu.
“Ataghfirullah, ya Allah..hiks hiks…Subhanallah..hiks..” Tidak ada lagi yang mampu diucapkan oleh Bu Asma kecuali kalimat tasbih di sela-sela isak tangis beliau. Tidak ingin berlarut-larut dalam kesedihan, Hasan segera melanjutkan,
“Saya mohon doanya bu, untuk keselamatan Annisa dan Azhar, semoga Allah memberikan penjagaan terbaik bagi keduanya” ada sedikit pilu dalam suara Hasan. Saat ini yang bisa menyelamatkan sang Isteri dan adik iparnya itu memang hanyalah Doa. Dirinya sadar meskipun mereka melakukan usaha pencarian, namun keselamatan dan hidup setiap manusia sejatinya adalah milik Sang Pencipta. Dan tidak ada yang bisa mereka lakukan jika takdir telah diputuskan selain berdoa.
“Pasti nak, pasti ibu doakan…hiks..hiks…Laa ilaha illallah…”
“Terimakasih banyak untuk semuanya bu. Saya akan terus mengabari Ibu setiap ada perkembangan kedepannya. Tapi saya mohon untuk saat ini, berita ini jangan dulu disampaikan kepada Ayah, Ibu, ataupun Amira. Biar saya saja yang mengabari anggota keluarga yang lain saat sudah sampai disana nanti.”
“Baik nak, ibu mengerti. Lalu bagaimana dengan Adnan? Apa yang harus ibu sampaikan nanti? Hiks..hiks..”
Untuk pertanyaan terakhir Bu Asma, sejujurnya Hasan tidak mengetahui jawaban pastinya. Yang jelas untuk sekarang ini Hasan ingin agar Bu Asma bersikap normal saja ketika berhadapan dengan bocah berumur 2 tahun itu.
Setelah mengucapkan salam dan menutup sambungan telfon. Hasan kemudian menelfon salah satu senior supervisor dari perusahaan induk untuk menggantikan posisi Hasan di proyek selama dirinya pergi. Meskipun berada di tengah situasi yang genting sekalipun, Hasan harus selalu memastikan semua urusan pekerjaannya sudah ter-handle dengan baik. Bagaimanapun, itu adalah sebuah tanggung jawab yang harus dipenuhi. Setelah semua urusan pekerjaan beres, Hasan pun segera bertolak pergi dari site proyek tempatnya bekerja menuju Bandara Soekarno Hatta Jakarta.
Atas izin Allah, tidak seperti biasanya yang ramai setiap weekend, saat itu jalanan begitu lengang, memudahkan dirinya sampai di tempat tujuan dengan lancar. Sepanjang perjalanan Hasan hanya berfokus pada jalan raya dihadapannya, dengan mulut yang tidak pernah berhenti beristighfar. Setelah sampai, Hasan kemudian melaksanakan shalat ashar di mushala Bandara. Lama dirinya bersujud dan berdoa. Untuk pertama kalinya, setelah sekian lama, ada setetes airmata yang bergulir di sudut-sudut mata laki-laki itu. Selama ini hanya Ibundanya lah yang mampu menghadirkan haru biru airmata dalam hidup Hasan. Namun kali ini begitu sesak perasaannya, sungguh dia tidak sanggup kehilangan Annisa.
Sesaat sebelum waktu check-in tiket dibuka, Pak Ahmad mengabari kedatangannya di bandara. Melalui ponsel, Pak Ahmad berkata bahwa dia menunggu kehadiran Hasan untuk memberikan tas koper titipan yang dibawanya. Hasan pun segera menghampiri Pak Ahmad. Dari kejauhan, Hasan mampu menemukan Pak Ahmad dengan mudah karena postur tubuh laki-laki itu yang lebih tinggi dari rata-rata tinggi badan laki-laki Indonesia.