Jika tersedia pilihan lain, sepertinya Kamini lebih suka untuk menghindari perkara satu ini, meminta bantuan suaminya. Sama sekali bukan karena suaminya bakalan berkelit dengan seribu satu alasan saat diminta olehnya, sehingga dirinya akhirnya gerah. Bukan itu. Suaminya justru akan senantiasa antusias. Hanya saja suaminya suka sekali menggampangkan perkara yang tengah diminta bantuan olehnya.
Tak masalah bila suaminya yang lebih mengutamakan sesumbar, namun kemudian mampu menjalankan amanat yang dimintanya. Yang mengesalkan, suaminya ternyata hanya besar di mulut saja. Pada praktiknya suaminya senantiasa gagal memenuhi ekspektasinya. Contohnya ketika dirinya meminta dijemput begitu tiba di Bandara Soetta.
“Sebelum pesawatnya terbang di atas Teluk Jakarta, mobilku sudah nongkrong di area parkir terminal 3,” janji suaminya sewaktu dikontak olehnya, cukup meyakinkan. Namun, yang terjadi mobil suaminya tak kunjung menampak juga. Padahal sedari tadi pesawat yang ditumpangi Kamini telah mendarat di Bandara Soetta.
Paling kesal ketika ponsel suaminya tak jua bisa dikontaknya. Sampai dirinya menjadi khawatir, takut terjadi apa-apa dengan suaminya di jalan. Baru setelah bersabar menunggu hingga dua jam suaminya mengontaknya lagi. Suaminya mengaku terlambat gara-gara terkena razia polisi yang tengah menggelar Operasi Patuh Jaya.
“Apes, Ni. Aku tadi lupa bawa surat-surat kelengkapan kendaraan bermotor. Jadinya mesti adu mulut dulu dengan polisi,” dalih konyol suaminya atas keterlambatan menjemputnya di bandara.
Jika perkara sederhana saja suaminya sudah mengesalkannya, tak terbayang betapa dongkolnya ia mendapati proposal dana penelitian yang diajukannya ditolak mentah-mentah. Terjadi hanya karena persoalan yang cukup sepele, kelengkapan berkas administrasi kependudukan. Karena tengah berada di luar negeri, Kamini terpaksa harus mempercayakan pengurusan dokumen administrasi kependudukan pada suami.
Kamini sendiri saat ini berprofesi sebagai peneliti, sekaligus pengajar di satu perguruan tinggi swasta di Jakarta. Persoalan dana penelitian senantiasa krusial baginya. Lacur, hingga dirinya akhirnya kembali ke tanah air, dokumen administrasi kependudukan yang dibutuhkannya tak kunjung diselesaikan suaminya.
“Ada orang kecamatan yang janji bisa selesaikan dokumen kependudukanmu dalam dua hari saja. Aku percayakan saja sama dia. Tahunya, orang kecamatan itu seminggu ini malah dirawat di rumah sakit.”
Suaminya memang piawai dalam hal berdalih meski kembali konyol. Padahal andai suaminya mau repot mengurus sendiri, paling lambat enam hari saja dokumen administrasi kependudukan yang dibutuhkannya akan selesai. Kamini juga menyentil suaminya yang selama ini kerap berkoar-koar, akan tetap sesuai prosedur saat berurusan dengan birokrasi pemerintahan demi mencegah korupsi. Namun, ternyata suaminya malah menempuh jalan pintas, yang tentunya butuh uang pelicin.
Kendati kerap mengesalkannya, namun tiada pernah terpikir di benaknya untuk meningkatkan level kekesalannya menjadi umpatan, apalagi amarah pada suaminya. Ia masih mampu mengendalikan diri, serta sadar bila suaminya adalah kepala keluarga yang tetap patut dihormatinya.
Sejak dulu memutuskan menikah Kamini sesungguhnya telah menebak bila Hastama, suaminya bukanlah sosok laki-laki dengan segudang pencapaian mengilap. Hastama hanyalah orang dengan talenta kebanyakan, malahan menurutnya terlalu rata-rata air. Oleh karenanya tiada dirinya senantiasa memimpikan hal lebih pada suaminya. Sekedar berharap suaminya mampu menjalankan peran sebagai kepala keluarga yang baik saja, bagi Kamini itu sudah lebih dari cukup.
Bagusnya Kamini telah menilai, ternyata suaminya mampu berperan sebagai suami dengan predikat bukan jelek. Paling tidak suaminya selalu mendukung kiprahnya sebagai seorang peneliti. Tak heran meski banyak kekurangan melekat pada diri suaminya, namun sukar dibantah bila Kamini merasa bahagia dengan kehidupan pernikahannya. Lebih-lebih dirinya memang mencintai suaminya, bahkan sejak pertama kali bersua.
***
Barusan Kamini mengontak suaminya, meminta tolong untuk menjemput Lala, putri tunggal mereka sepulang sekolah. Biasanya tugas menjemput Lala rutin dilakukannya. Hanya saja khusus hari ini, dikarenakan guru-guru tengah mengikuti acara pertemuan dengan dinas pendidikan, pihak sekolah memulangkan murid lebih pagi. Sedangkan Kamini sendiri sampai siang nanti akan mengikuti rapat di lembaga penelitian tempatnya bekerja.
Sepertinya Kamini susah beroleh izin untuk sejenak keluar menjemput anaknya pulang sekolah. Karena pembantu di rumah tengah pulang kampung, ditambah mertuanya yang sedang berada di luar kota, mau tidak mau ia harus mengandalkan suaminya lagi.
“Mas Has bisa minta izin sebentar dari tempat kerja, kan?”
“Gak masalah, bosku orangnya penuh pengertian. Banyak juga karyawati sini yang merangkap tukang antar jemput anak.”
“Ingat, hari ini Lala pulangnya jam sebelas! Mas Has enggak boleh terlambat, nanti Lala panik!”