Kembang Berdendang

Omius
Chapter #5

Suami Tanpa Kebanggaan Diri

Tujuh menit sudah Hastama hanya berdiri terpaku di ruang tengah rumahnya. Sembari bersedekap ia terus memandangi barang-barang yang dipajang lemari kaca hias di depannya. Bukan hendak mempertanyakan, mengapa sampai tiada satu pun barang-barang aksesoris tersimpan di lemari kaca hias. Ia tahu, sejak lama lemari kaca hias di rumahnya cuma memajang plakat, medali, piala, atau pun barang perlambang penghargaan lainnya. Hastama hanya merasa tengah diingatkan oleh para penghuni lemari kaca hias.

Ya, diingatkan. Dirinya diminta supaya lebih memperhatikan atmosfer kehidupan rumah tangganya. Ingin membantah, namun adalah fakta yang harus diterimanya, bahwa saat ini keselarasan antara dirinya dan sang istri dalam membina rumah tangga mulai menyimpang, paling tidak menurut kacamatanya sendiri.

Seluruh penghargaan yang tersimpan di lemari kaca hias hanya mengatasnamakan Ir. Kamini Dyah Paramita Ph.d, istri tercintanya. Lemari tersebut seperti enggan menyisakan tempat baginya, untuk memajang pernak-pernik atas namanya sendiri. Bahkan, kalaupun masih menyisakan tempat untuknya dipastikan hanya akan melompong saja. Tiada pernah tersedia di rumahnya plakat, medali, atau piagam penghargaan atas namanya.

Ironi memang, di kala sang istri penuh bertabur prestasi, Hastama hanyalah lelaki yang hidupnya terlalu rata-rata air.

Memiliki seorang istri dengan sederet pencapaian tentunya membanggakan, tak terkecuali Hastama sebagai suami. Banyak teman-teman menyebutnya pria beruntung, dikarenakan memiliki istri sesempurna Kamini. Sudah cerdas dan berpendidikan tinggi, istrinya masih juga dianugerahi paras yang memanjakan mata. Ditambah perilaku yang senantiasa menyenangkan orang, Kamini seakan-akan wujud anugerah Tuhan yang paling membahagiakannya.

Tiada dirinya mengingkari anugerah yang didapatkannya. Lebih-lebih ia memang teramat mencintai istrinya. Dirinya senantiasa bersyukur mendapatkan Kamini yang bersedia mendampingi hidupnya. Hanya saja seiring berjalannya waktu, Hastama sulit menutupi fakta jika kehidupan pernikahannya sudah tidak lagi setara.

Sukar dimungkiri jika istrinya telah jauh melampauinya. Istrinya kini berada di level yang berbeda dengannya. Hastama senantiasa menyesalkan diri sendiri yang tak jua mampu mengejar level istrinya, atau paling tidak mengupayakan agar tidak semakin berjarak. Semenjak sembilan tahun menikah dan dikaruniai seorang anak, karirnya cuma mandek di bagian staf keuangan sebuah perusahaan kontraktor.

Bandingkan dengan karir istrinya. Kamini tak hanya berprofesi sebagai tenaga pengajar di satu perguruan tinggi swasta. Istrinya juga seorang periset handal di sebuah institusi penelitian non pemerintah, Arena Riset. Bukan hanya telah menjadi kepala laboratorium nano, istrinya belum lama masuk ke dalam daftar sepuluh periset terbaik negeri ini versi kemenristek.

Kalau bukan karena dorongan cinta butanya, sepertinya Hastama akan berpikir ulang melamar sang pujaan hati. Istrinya pemilik gelar Ph.D di bidang Fisika Partikel dari Universitas Tokyo. Cukup jomplang disandingkan dengan pendidikannya, yang cuma lulusan S1 perguruan tinggi swasta tak terkenal di Jakarta. Namun, untungnya kekuatan cinta ternyata mampu menyatukan mereka berdua.

Sesuai yang dikatakan rekan-rekannya bila dirinya lelaki beruntung, Kamini ternyata menaruh cinta padanya. Cinta pula yang membuatnya tetap merasa dihormati sang istri. Tiada pernah sekali-kalinya istrinya sampai bersikap meremehkan dirinya. Malahan istrinya kerap membangga-banggakan dirinya sebagai suami pada khalayak. 

“Segala pencapaian yang saya capai, sesungguhnya hanyalah buah dari upaya suami yang tak henti menggelontorkan motivasi. Tanpa dorongan motivasi dari suami, mana mungkin saya mampu terus-terusan menelurkan inovasi.”

Sewaktu dianugerahi penghargaan kalimat seperti di atas jamak diucapkan istrinya, tepatnya ketika tengah memberi sambutan di atas podium. Istrinya ingin seluruh dunia tahu jika dirinya adalah motivator handal, sekaligus penebar inspirasi untuk berkarya. Terkadang malah istrinya meminta dirinya untuk berdiri, supaya hadirin berkenan memberi aplus untuknya.

Tentu Hastama mengerti, pujian dari istrinya bukan berarti dirinya memang layak dibanggakan. Istrinya cuma sekedar basa-basi, atau mungkin ingin berbagi kebanggaan dengannya. Hanya saja dirinya merasa sukar untuk turut merasakan kebanggaan pula. Ia sulit membohongi diri sendiri, adalah benar jika dirinya tiada punya peran apa pun dalam kesuksesan istrinya.

Sembilan tahun menikah terbilang minim sang istri sampai meminta bantuan padanya. Hal sebaliknya justru menimpa dirinya. Teramat sering ia meminta bantuan sang istri. Dari meminta bantuan memulihkan kembali sistem komputer miliknya yang bermasalah, hingga persoalan yang umumnya menjadi ranah kaum laki-laki, seperti memperbaiki peralatan listrik yang rusak. Tak semata-mata bergelar insinyur, istrinya terbukti memang piawai di bidang elektronik.

Karena teramat sering meminta bantuan pada sang istri, belakangan ini Hastama─ yang mulai didera perasaan berkecil hati─ akhirnya enggan meminta bantuan sang istri. Ia memilih menyembunyikan saja setiap masalah yang datang menimpanya. Terutama masalah yang masih terkait dengan pekerjaan. Padahal ia percaya, jika meminta bantuan istrinya maka permasalahannya akan dapat diselesaikan segera.

Lihat selengkapnya