Kembang Berdendang

Omius
Chapter #6

Gagal Unjuk Gigi

Foto sang istri bareng menteri telah resmi menjadi penghuni baru lemari kaca hias di rumahnya. Foto yang memperlihatkan, betapa penjabat selevel menteri sampai memberi penghargaan atas kiprah istrinya di dunia penelitian. Dalam foto tersebut menampak jelas di raut muka istrinya, satu bentuk kepuasan batin yang tiada tara. Ia mengerti, tak terbilang rasa bangga yang terpancar dari binar-binar di paras menawan istrinya

“Bapak Menteri, penghargaan yang saya dapatkan ini sesungguhnya berkat peran suami. Saya beruntung memiliki suami yang tiada bosan mendorong semangat motivasi saya dalam meneliti, sekaligus menjadi sumber inspirasi saya.”

Untuk kesekian kalinya sang istri tak ragu menyebut peran dirinya di acara penganugerahan. Bahkan diutarakan secara langsung di hadapan seorang menteri. Lantas, apakah dirinya turut merasakan bangga pula, apalagi menteri tersebut sempat memberi aplaus untuknya?

Iya, Hastama turut merasakan bangga pula. Malahan dirinya serasa dituntut untuk mensyukuri karakter pendamping hidupnya, yang tiada pernah abai untuk membagikan kebanggaan bersamanya. Yang senantiasa berprinsip kebanggaan seorang istri adalah kebanggaan suami juga.

Akan tetapi, adalah sukar dibantahnya bila rasa bangga itu hanya berkutat di sekitar isi kepalanya saja. Hati kecilnya masih belum mampu merasakannya.

Apa penyebabnya, lagi-lagi pemikiran negatifnya yang gemar berulah dengan mencibir diri sendiri. Dalam pandangan matanya, level dirinya sebagai suami telah semakin terbenam jauh ke bawah. Berbanding terbalik dengan level istrinya yang justru terus-terusan melonjak ke atas.

Tak habis pikir Hastama, bagaimana dirinya amat tidak berdaya untuk meningkatkan kualitasnya sebagai suami yang dapat membanggakan istri. Bukan rasa bangga ala basa-basi yang kerap diucapkan dari mulut sang istri, namun kebanggaan yang bersumber dari dirinya sendiri. Rasanya ia membutuhkan satu momen spesial. Momen yang kiranya dapat mengerek kualitas dirinya sebagai suami.

Momen yang tengah darurat dibutuhkannya itu meski langka sekali, namun sebenarnya pernah menyambanginya juga. Semisal ketika istrinya sampai meminta-minta padanya─cenderung memaksa malah─, untuk dibuatkan puisi yang akan diikutsertakan dalam ajang lomba. Lacur, puisi yang sudah dipersiapkannya secara matang hanya dapat dibukukan saja. Kehilangan momen, karya sastra terbaiknya itu akhirnya gagal diikutsertakan dalam ajang lomba.

Barangkali satu-satunya karya sastra darinya yang paling sering dibacanya ulang, sekaligus terus-terusan disesalinya adalah puisi yang gagal diikutsertakan dalam ajang lomba. Seperti sore hari ini, di mana Hastama terus saja membuka-buka lembar halaman buku antologi puisi karya terbarunya. Hendak mencari halaman yang memuat karya puisi yang paling disesalinya.

Tahu-tahu ponselnya berdering. Bukan istrinya yang mengontaknya, melainkan rekan sesama penggiat sastra.

“Has, sudah dapat e-mail, atau WA konfirmasi dari Dewan Pena Nusantara, atau belum?”

Yang dimaksud Dewan Pena Nusantara tak lain sekelompok sastrawan senior, yang ditugaskan mengumpulkan karya sastra terbaik anak bangsa, sekaligus menyeleksinya untuk diikutsertakan dalam Anugerah Pena Nusantara, satu ajang penghargaan sastra paling bergengsi di negeri ini. Sebagai penggiat sastra Hastama tentu mengenalnya.

“Ngapain mereka ngabariku, memangnya ada karyaku yang diikutsertakan dalam Anugerah Pena Nusantara.”

“Kasihat banget nominator yang satu ini, jangankan dikasih kabar kalau karyanya masuk nominasi, sekedar tahu karyanya sudah diikutsertakan saja masih dianggap barang mewah untuknya.”

“Sumpah, aku sama sekali enggak tahu!”

“Jahat memang teman-teman di komunitas sastra kita. Sampai kamu enggak diberitahu kalau puisimu diam-diam sudah dikirim ke Dewan Pena Nusantara.”

Lihat selengkapnya