Kembang Berdendang

Omius
Chapter #10

Tawaran

Seperti yang dikhawatirkannya, pada akhirnya Hastama mulai mengendus rencana perusahaan tempatnya bekerja untuk mengurangi jumlah karyawan. Tak jua beroleh tender proyek baru, perusahaan kini hanya menggarap dua proyek yang tinggal menunggu serah terima. Dampaknya sebagian besar tenaga kerja, terutama di bagian lapangan hanya dapat berleha-leha tanpa kegiatan. Sementara gaji bulanan tentunya harus tetap dibayar perusahaan.

Rencananya baru tujuh bulan lagi program pengurangan karyawan dilaksanakan. Walau begitu gerah sudah lebih dulu dirasakannya. Hastama tak lagi nyaman bekerja. Pikiran negatif terus menghantuinya. Ia merasa bakalan masuk ke daftar karyawan korban PHK. Masa depannya sungguh amat muram.

Kala keresahan tengah melandanya di tempat kerja, tahu-tahu atasannya datang menghampirinya. Atasannya malah menyarankan dirinya, supaya mengajukan pengunduran diri secara sukarela.

“Siapa pun karyawan yang bersedia mundur secara sukarela, sebagai imbalannya perusahaan akan beri pesangon berlipat. Bisa capai enam ratus juta bagi karyawan selevelmu, Has! Sudah gitu cairnya bakalan cepat, paling lambat satu minggu setelah surat pengajuan diserahkan. ”

Tertarik tawaran atasannya? Malah Hastama lekas berpikir, siapa yang mau kehilangan pekerjaan di masa-masa sulit seperti sekarang ini? Tak peduli konon bakalan dijanjikan pesangon ratusan juta, namun tetaplah berstatus pekerja adalah lebih menyenangkan. Lebih-lebih bagi dirinya saat ini.

Nasib berkata lain. Mau secara sukarela, atau menunggu dipecat pada dasarnya hanyalah perkara waktu saja. Dirinya dipastikan akan kehilangan pekerjaan. Dengan kata lain status suami benalu akhirnya turun juga padanya. Malahan lebih cepat dari perkiraannya.

Tengah galau memikirkan masa depan karirnya, satu momen datang dan menyengatnya beberapa hari kemudian, tepatnya sewaktu bersua sang istri di Taman Widya. Waktu itu ia cukup dikejutkan oleh kata-kata sengit istrinya. Jarang-jarang istrinya sampai berkata sesengit itu. Walau menyadari kata-kata sengit istrinya ditujukan untuk suami Herlina, namun kondisi dirinya yang tengah diresahkan oleh ancaman PHK memberinya respons berbeda. Hastama merasa turut tersengat pula oleh kata-kata sengit istrinya.

Parahnya lagi usai berlalu dari Taman Widya, istilah suami benalu yang diucapkan istrinya terus terngiang selalu dalam benaknya. Serupa hantu yang saban hari meneror batinnya. Hastama merasa tertekan sekali.

Memang Kamini memiliki kesamaan dengan Herlina, sama-sama perempuan yang mencintai suami meski dalam kadar berbeda. Walau begitu ia mengenal betul seperti apa karakter istrinya. Di matanya, sang istri merupakan sosok perempuan idealis, kuat dalam komitmen, serta menjunjung tinggi rasionalitas.

Amat berlainan dengan Herlina yang juga telah dikenalnya sejak lama, di mana kepatuhan pada suami adalah perkara yang mesti ditempatkan pada level utama. Segala pandangan istrinya akan sosok pendamping hidup tak bakalan berlaku bagi Herlina.

Tak heran bila dirinya tertekan secara mental oleh kata-kata sengit istrinya sewaktu di Taman Widya. Apalagi Hastama teramat mencintai istrinya. Selama ini pun ia sudah merasa berkecil hati pada istrinya. Hanya saja berkat statusnya sebagai pekerja kantoran, ia masih merasa tetap dihargai sang istri. Terlebih istrinya tak pernah mempertanyakan, apalagi sampai membanding-bandingkan penghasilan yang didapatkannya setiap bulan.

Lain halnya sewaktu dirinya nanti berstatus suami tidak bekerja. Mungkin saja istrinya tak bakalan mengeluarkan kata-kata sengit macam yang pernah didengarnya di Taman Widya. Meski begitu Hastama percaya, secara berangsur istrinya akan mencampakkannya. Cinta sang istri padanya bakalan terus terkuras, manakala saban hari tak lagi mencium bau khas keringat pekerja kantoran di badannya.

 Tak mungkin pula ia dapat meniru perilaku suami Herlina, memanfaatkan cinta sang istri demi mengikat tali pernikahan. Sekali lagi ia mengenal betul karakter istrinya, yang memang tak dapat dibandingkan dengan Herlina. Sama-sama menaruh cinta pada suami, namun istrinya tak bakalan mampu dibutakan macam Herlina.

Kelihatannya Hastama sejak dini sudah harus menyiapkan mental, kehilangan istri laksana anugerah Tuhan yang paling disyukurinya. Bahkan kalaupun keberuntungan menimpanya, di mana sang istri masih mempersilahkan dirinya sebagai pendamping hidup, sepertinya ia tak bakalan mampu bertahan. Istrinya masih menghargai kiprahnya saja ia sudah merasa berkecil hati. Lebih-lebih ketika nanti dirinya disamakan dengan suami benalu.

Apakah dirinya hanya akan pasrah begitu saja, cukup menerima nasib tanpa daya upaya? Sepertinya tidak. Mengantisipasi kemungkinan dirinya dicap suami benalu oleh istri tercinta, Hastama ternyata tidak tinggal diam. Sekarang ini ia tengah giat mengirim sejumlah CV ke berbagai perusahaan. Tentu tanpa sepengetahuan istri tercinta.

Rupanya Hastama masih kurang bernyali untuk berterus-terang bakalan kehilangan pekerjaan. Rencananya pengakuan itu bakal diungkapkannya di momen yang tepat, atau begitu dirinya diterima bekerja di perusahaan baru.

Lacur, semua CV yang dikirimkannya tiada beroleh tanggapan. Sedangkan dirinya saban waktu terus memperhatikan layar ponselnya, menanti-nanti notifikasi akun e-mail miliknya. Kalaupun notifikasi itu sesekali muncul, e-mail yang masuk ternyata sama sekali tidak berhubungan dengan perkara melamar pekerjaan. Kelihatannya menanti-nanti tanggapan atas CVyang dikirimnya hanyalah aktivitas penambah derita kecewanya.

Hingga satu hari teman sesama anggota komunitas sastra memberinya kabar bagus. Teman yang bekerja sebagai staf HRD ini menginformasikan padanya, bahwa PT. Alas Kaki Kencana, sebuah pabrik sepatu di Tangerang tengah membutuhkan seorang tenaga staf keuangan berpengalaman.

“Info lowongan ini tidak dibuka ke publik loh, Has. Cuma diam-diam saja karena formasi yang tersedia buat satu orang saja. Buruan kirim CV-mu ke alamat e-mail yang nanti aku WA! Asal kamu tahu, sampai aku berkata baru empat pelamar saja yang sudah kirim CV, padahal tiga hari lagi lowongan mau ditutup.”

Rasanya Hastama boleh berharap banyak pada informasi temannya. Bukan saja karena kriteria yang dibutuhkan sesuai dengan kapasitasnya, namun jumlah pelamarnya terbilang minimalis. Dengan tingkat persaingan yang masih berbilang jari, peluang dirinya diterima amatlah besar. Lebih-lebih temannya berjanji akan bantu merekomendasikannya.

Dua minggu berlalu usai dirinya mengirimkan CV, panggilan untuk wawancara kerja datang padanya. Bukan main girangnya Hastama manakala temannya memberitahukan, dari tujuh CV pelamar yang masuk ternyata hanya dua saja yang dianggap pantas untuk diwawancara. Salah satunya ya Hastama sendiri. Rasa optimisnya untuk mampu menyingkirkan satu-satunya pesaing semakin membuncah.

Kendati demikian ada yang seketika memicu atensinya. Sewaktu iseng menanyakan sosok pesaing satu-satunya itu, di luar dugaan temannya malah menanggapinya. “Kebetulan aku yang memeriksa berkas administrasi para pelamar. Kalau aku perhatikan CV-nya, terutama asal SMA serta tahun kelulusannya, sepertinya dia satu angkatan denganmu, Has.”

Lihat selengkapnya