Kembang Berdendang

Omius
Chapter #12

Ditampar Teman

Hingga jam bubar kantor tiba Hastama belum beranjak dari kecewa. Ia susah menerima, mengapa kabar buruk justru menyambutnya di kantor. Padahal begitu dirinya berencana mengajukan pengunduran diri secara sukarela sebagai karyawan, segenap isi kepalanya hanya memikirkan jumlah pesangon yang bakalan diterimanya.

Impian berganti seragam pegawai BUMN benar-benar telah membuainya. Membuat dirinya sekan-akan telah kehilangan jati diri. Sampai-sampai dirinya berani menyebut, pembatalan rencana PHK karyawan di perusahaan tempatnya bekerja sebagai kabar buruk. Apalagi jika benar istrinya ada di balik kegagalan dirinya beroleh pesangon ratusan juta.

Hastama abai, betapa rekan-rekannya justru bersyukur mendengar perusahaan urung mengurangi jumlah karyawan.

Tak lantas pulang ke rumah, sore ini Hastama menyimpang sejenak ke kediaman teman kuliahnya dulu di daerah Cakung. Temannya baru saja dirawat selama seminggu di rumah sakit akibat penyakit demam berdarah. Karena seminggu terakhir kesulitan mencari waktu luang untuk membesuk, baru sore ini Hastama berkesempatan menyambangi kediaman temannya.

Ternyata temannya sudah tampak bugar kembali sewaktu ditemuinya. Merasa tiada topik penting yang harus dibicarakan lagi selain canda tawa, Hastama menilai, tiga perempat jam menghabiskan waktu mengobrol bareng teman dirasakan sudah lebih dari cukup. Selanjutnya ia pamit pulang.

“Coba rumahku dekat stasiun juga, bakalan kujadikan lahan parkir seperti pekarangan rumahmu. Duit ngalir terus cukup dengan rebahan saja!” ujar Hastama pada temannya yang mengantar dirinya hingga teras depan rumah. Kelihatannya ia cemburu pada bisnis lahan parkir temannya.

Rumah temannya terletak di dekat Stasiun Cakung. Karena pengguna moda transportasi kereta kerap kesulitan memarkirkan kendaraan di sekitar Stasiun Cakung, pemilik rumah-rumah di sekitarnya banyak menjadikan halaman depan sebagai area parkir.

Contohnya rumah teman yang tengah disambanginya ini. Tampak di pekarangan depan belasan motor tengah berderet rapi. Belum dengan dua buah mobil, termasuk Hastama sendiri yang memarkirkan mobilnya di sini. Kebetulan rumah temannya memiliki pekarangan yang luas.

“Kalau menghasilkan ya menghasilkan sih. Cuma enggak sebasah yang kamu kira.”

“Paling tidak dua juta sehari pasti dapat dong!”

“Tak pernah dapat segitu, paling banter cuma sejuta perhari.”

“Ya lumayan. Kalau dikumpul-kumpul sebulan, gajimu bakalan kalah besar sama bisnis lahan parkirmu.”

“Satu juta itu kotor, Has. Soalnya ada potongan wajib tujuh ratus ribu perhari!”

“Potongan apaan itu, kok besarnya hampir menyamai pendapatan harianmu?”

“Saban hari saya, dan juga tetangga yang buka lahan parkir wajib setor ke orang Dishub sebesar yang kusebutkan tadi. Kalau tidak, izin usaha lahan parkirnya bakalan dicabut.”

“Itu resmi, atau pungli?”

“Tahu sendiri lah.”

“Harusnya kamu tolak, itu sama saja kamu bantu korupsi orang Dishub itu!”

“Namanya juga hidup di Jakarta, kalau enggak mau masuk jaringan setan mana bisa kita eksis.”

“Enak banget itu orang Dishub, bakalan cepat kaya raya dia.”

“Enggak juga. Orangnya pernah ngaku ke saya, uang yang didapat habis buat bayar cicilan pinjol.”

“Punya lahan basah buat cari duit malah ngutang ke pinjol, bego banget itu orang!”

“Dulu dia sengaja pinjam ke pinjol buat uang pelicin masuk ASN Dishub. Dia berani pinjam empat ratus juta, karena tahu dengan jabatannya dia nanti bisa nyicil hutang pinjol meski bunganya edan.”

Lihat selengkapnya