Kembang Berdendang

Omius
Chapter #13

Tugas

Jarang-jarang direktur utama memanggilnya, bahkan sampai ingin bercakap-cakap dengannya secara dua mata. Hastama tentu harus terus bertanya-tanya. Sempat mengira pemanggilannya terkait dengan keberhasilan istrinya, membersihkan air baku dari pencemaran logam berat di instalasi SPAM Tarumaland City, sehingga mitra strategis perusahaan urung mengajukan gugatan hukum, namun lekas ia menampik sendiri. 

Sampai detik ini Hastama tetap percaya, tiada seorang pun di perusahaan tempatnya bekerja tahu, sesungguhnya terdapat peran istrinya di balik proses pembersihan air baku Tarumaland City. Istrinya memang sengaja merahasiakannya.

Uniknya begitu masuk ke dalam ruangan direktur utama, dirinya malah diminta bercerita ulang kejadian dua tahun lalu, tepatnya sewaktu tak sengaja menemukan sekotak batu merah delima di toilet Bandara Sukarno-Hatta. Karena dirinya malah mengembalikan kotak tersebut ke polisi bandara, sedangkan batu-batu mulia di dalamnya berharga selangit, entah kenapa perilaku jujurnya lalu berujung viral. Banyak media-media yang memberitakannya, sekaligus memuji habis komitmennya untuk tidak mengambil barang yang bukan miliknya.

Semakin Hastama diberondong hujan pujian manakala Sasongko, sang pemilik batu mulia bermaksud memberi hadiah atas kejujurannya. Hadiah berupa satu biji batu merah delima. Tetapi, dirinya malah menolak.

Kalau saja waktu itu ia menerimanya, niscaya dirinya akan hidup layak hingga hari tua nanti. Satu biji batu merah delima pemberian Pak Sasongko bisa mencapai belasan milyar rupiah. Hastama berdalih, begitu dirinya menerima hadiah tersebut maka aksi jujurnya sudah tidak lagi memiliki nilai. Padahal komitmen akan nilai-nilai sudah menjadi pedoman hidupnya.

Publik boleh memuji-muji dirinya. Namun, tiada satu pun dari pujian tersebut yang membekas dalam. Hastama hanya menganggapnya sekedar angin menumpang lewat saja. Lain halnya manakala sang istri memujinya habis, ia serasa dilambungkan setinggi-tingginya ke udara.

“Mas Has mengembalikan seluruh batu merah delima ke pemiliknya, dua bintang layak kusematkan di bahumu! Tapi, Mas Has menolak hadiah atas kejujuranmu, bintang empat ganjaran yang pantas untukmu!” Demikian istrinya sewaktu memujinya.

Momen sang istri memuji-mujinya menjadi momen paling mengesankan, tak bakalan terlupakan seumur hidupnya. Amat berbeda ketika istrinya memuji peran dirinya─yang menurutnya cuma basa-basi semata─ sewaktu beroleh anugerah penghargaan, demikian pula ketika istrinya tetap memujinya selangit meski dirinya gagal meraih Anugerah Pena Nusantara, bahkan tak dapat menghadiri acaranya dikarenakan turut sang istri ke Istana Negara, Hastama hanya merasakan kebanggaan sebatas kulit luar saja.

“Mengapa saya malah menyinggung-nyinggung penemuan batu merah delima, dikarenakan Pak Hastama akan saya tugaskan menyambangi rumah Pak Sasongko,” penjelasan direktur utama kemudian.

Kurang memahami tugas yang akan diembannya, namun Hastama memilih menunggu kelanjutan penuturan direktur utama. Ia enggan langsung bertanya.

“Perusahaan saat ini tengah membutuhkan batu merah delima punya Pak Sasongko. Perusahaan harus segera mendapatkannya, tentu dengan cara membelinya.”

Masih sukar memahami, namun kali ini Hastama memilih seketika bertanya, “Setahu saya, Pak Sasongko tak pernah menjual batu merah delima koleksinya, berapa pun harga yang ditawarkan!”

“Saya juga tahu itu, makanya perusahaan menugaskan Pak Hastama untuk membujuk Pak Sasongko, supaya berkenan menjual batu merah delima. Cukup satu biji saja.”

Hastama akhirnya mulai beroleh pencerahan. Direktur utama rupanya hendak memanfaatkan dirinya, yang kebetulan pernah berjasa menyelamatkan koleksi batu merah delima milik Pak Sasongko. Diharapkan, ketika dirinya mengutarakan hendak membeli batu merah delima, Pak Sasongko yang terganjal hutang budi tak bakalan menolak tawarannya. Sangat mungkin malah dirinya akan mendapatkannya secara gratis.

“Maaf, Pak, kalau boleh saya tahu, mengapa perusahaan sampai harus mendapatkan batu merah delima milik Pak Sasongko?”

“Ah, Pak Hastama ini, macam enggak tahu saja ....” jawab direktur utama sembari tersenyum, serta memicingkan salah satu kelopak matanya.

Untungnya Hastama akhirnya memahami bahasa tubuh direktur utama. Barusan dirinya teringat sebab batu merah delima milik Pak Sasongko berharga selangit. Bukan karena menyandang status batu mulia, melainkan berkat tuah yang dikandungnya. Banyak pengusaha mengincarnya karena diyakini membawa kejayaan dan keberuntungan. Dirinya tahu karena Pak Sasongko pernah bercerita padanya.

Dan sekarang, sepertinya giliran perusahaan tempatnya bekerja yang mengincar tuah batu merah delima milik Pak Sasongko. Hastama menyadari, meski Tarumaland Group telah memberi proyek baru untuk digarap PT. Buana Teknik, namun nilainya tidak sebesar proyek sebelumnya. Perusahaan tempatnya bekerja membutuhkan proyek lain, agar karyawan tetap beroleh pekerjaan.

Mau tidak mau PT. Buana Teknik tak boleh kembali gagal memenangkan tender. Menyadari persaingan yang semakin berdarah-darah, memanfaatkan klenik sepertinya bukan hal tabu lagi bagi PT. Buana Teknik.

“Akan saya usahakan, Pak! Mudah-mudahan Pak Sasongko bersedia menjualnya.”

“Berhasil tidaknya kita memenangi tender kini tergantung pada upaya Pak Hastama. Makanya saya minta Pak Hastama tak boleh gagal dalam tugas, karena ada konsekuensi serius!”

Dalam penilaiannya, direktur utama seperti tengah mengancamnya. Berlebihan, hanya untuk sebuah batu merah delima yang konon membawa keberuntungan, dirinya sampai harus diancam segala jika gagal mendapatkannya. Padahal direktur utama semestinya tahu, bagi dirinya amat mudah mendapatkan batu merah delima dari Pak Sasongko.

Lihat selengkapnya