“Wahai kembang cantik, aku mengerti kalau kamu ingin menyampaikan pesan lewat suara dendangmu. Mohon maaf, aku tak dapat memahami pesanmu! Tapi, kamu enggak perlu khawatir. Percayalah, selamanya aku akan terus berupaya memahami pesanmu!” Berkata Kamini pada setangkai bunga lavender dalam pot, seperti hendak mengungkapkan satu tekad.
Sebelumnya Kamini merasa yakin. Ia boleh berpikir optimis. Atau, setidaknya peluang untuk berhasil itu ada. Terlebih kali ini ia telah melakukan inovasi terbaru dalam teknik pengambilan gambar. Termasuk memasang empat buah kamera sains sekaligus. Benda-benda optik itu sengaja dipasang pada posisi saling bersilangan.
Apa mau dikata, lagi-lagi layar laptopnya hanya mau menampilkan visual yang itu-itu juga. Layaknya gambar lukisan, visual rambut-rambut halus di sekujur daun bunga lavender enggan bergetar sama sekali.
Yang membuatnya gerah, justru bola matanya mampu melihat obyek yang tengah dipantaunya sempat bergetar. Sayang cuma sesekali, sudah begitu dalam tempo terlalu sekejap.
Tak bisa dimungkiri bila Kamini mengalami kegagalan kembali. Empat kamera sains yang digunakannya ternyata tiada guna sama sekali. Semuanya tak mampu menangkap getar rambut-rambut halus daun bunga lavender, sewaktu bunga cantik itu tengah berdendang usai disiram air olehnya. Getar yang menurutnya mengikuti sebuah pola, serta biang bunga lavender mampu memperdengarkan dendang suara seorang nenek.
Wajar bila Kamini kemudian kecewa sekali. Ini adalah eksperimen yang kesekian puluh kalinya. Padahal demi keberhasilan eksperimennya, ia sudah habis-habisan berupaya. Energinya banyak terkuras. Pun dengan waktu. Seperti di hari ini, telah lebih dari lima jam Kamini berkutat di Laboratorium Fisika Dasar, di kampus tempatnya mengajar.
Selesai dengan partikel nano, bunga lavender kini menjadi obyek penelitian selanjutnya dirinya. Berbeda dengan yang sudah-sudah, entah kenapa Kamini tertentang antusias sekali dalam penelitian terbarunya ini. Barangkali karena pengalaman subyektifnya.
Memang, hanya telinganya yang mampu mendengar dendang suara yang dilantunkan bunga lavender. Orang lain tak dapat, termasuk alat perekam sekalipun. Ia lantas curiga, dendang suara yang hanya dapat terdengar di telinganya ini adalah upaya dari bunga lavender untuk menyampaikan satu pesan. Mungkin pesan yang ditujukan khusus pada dirinya seorang.
Di awal Kamini telah beroleh temuan, ketika bunga lavender memperdengarkan dendang suara seorang nenek, rambut-rabut halus di sekujur daun bunga tersebut ternyata bergetar. Berdasarkan temuannya ini ia lantas berpikir, andai pola getar rambut-rambut halus itu terekam kamera, ada kemungkinan dirinya dapat mengetahui mekanisme kerja bunga lavender sampai mampu berdendang. Sekaligus menguak pesan yang hendak disampaikan bunga tersebut padanya. Untuk itu Kamini membutuhkan instrumen berupa kamera sains berkecepatan supertinggi.
Sewaktu menceritakan dendang suara misterius itu pada suami, dirinya malah beroleh olok-olok, juga dituding tengah bermasalah di telinga. Meski begitu Kamini menolak tudingan mengalami halusinasi pendengaran. Bukan hanya karena dirinya telah menemukan indikasi awal, bunga lavender juga hanya akan berdendang usai disirami olehnya. Mana mungkin halusinasi membutuhkan prasyarat.
Kamini lebih mengamini pendapat lain. Bisa jadi dendang suara yang terdengar itu hanyalah ucapan terima kasih bunga lavender setelah disirami olehnya. Barangkali pernah ada seorang nenek di masa lampau, yang gemar menyirami bunga lavender sembari mendendangkan lagu Als de Orchideen Bloeien. Kebetulan bunga lavender yang disirami berasal dari spesies unik, mampu merekam suara si nenek untuk kemudian mendendangkan ulang. Kebiasaan ini terus diwariskan ke anak cucu bunga tersebut.
Terbukti hanya bunga lavender di Taman Widya yang mampu berdendang. Bunga lavender di tempat lain, termasuk yang dibelinya dari toko bunga cuma bisa membisu meski dirinya telah berkali-kali menyirami. Sedangkan bunga lavender di dalam Rumah Batu yang konon mampu bernyanyi, bagi Kamini tetap itu cuma obyek mimpi Lala.
Atas dasar itu terpaksa Kamini meminta izin pada yayasan sekolah pengelola Taman Widya, bermaksud meminjam bunga lavender agar ditelitinya. Karena dirinya memperlihatkan kartu peneliti, pihak yayasan mudah mengabulkan permintaannya.
“Tiada yang salah dengan empat kamera itu! Yang salah adalah orang yang memaksanya bekerja di luar batas kodratnya,” suara seorang perempuan yang baru saja masuk ke dalam laboratorium. Hera rupanya.
Walaupun suasana laboratorium tengah sunyi, namun Kamini tak acuh dengan kata-kata Hera. Jangankan menanggapi, menoleh pun malas. Fokus perhatiannya hanya terpaku pada salah satu kamera sains. Tak jelas apa yang dipikirkannya dengan benda optik itu.
“Dari kemarin aku sudah bilang, kamera yang kamu pakai itu belum cukup cepat. Paling banter cuma bisa menangkap gerak peluru.”
“Maksudmu, sejak mula seharusnya aku sudah angkat tangan gitu?” sahut Kamini yang mulai bereaksi. Kendati belum bersedia menoleh pada Hera.
“Bukan menganjurkanmu segera menyerah. Tapi, sepintar-pintarnya kamu berinovasi, tetap saja akan berakhir mandek oleh realitas,” jelas Hera sembari menghampiri meja praktikum Kamini. Ada benda yang menarik perhatiannya di sana, satu pot bunga lavender yang disimpan di atasnya.
“Jikalau Thomas Alva Edison dulu gampang kalah oleh realitas, mungkin malam di dunia akan tetap selalu romantis oleh cahaya lilin.”
“Bisa saja kamu ini,” timpal Hera yang tak asing dengan kelihaian Kamini berbalas kata. Bahkan sering kali tak mau kalah.
“Garis rahangmu yang terlihat tajam sudah menunjukkan, seperti apa semangat hidupmu yang senantiasa menggelora,” ungkap Hera sembari menunjuk rahang tegas temannya. Menurutnya, berkat rahang tegas tersebut Kamini akan senantiasa tertentang awet muda kendati bertambah usia. Apalagi usia teman yang satu ini masih terbilang muda untuk ukuran seorang peneliti.
“Mulai lagi deh, muji-muji dulu wajahku terus ujung-ujungnya ngolok!”
Hera cuma tertawa ringan. Tangannya kemudian mengambil pot bunga lavender. Sementara sinar matanya menyorot keindahan bunga berwarna ungu itu.
“Kamu tega sekali, Ni! Bunga secantik ini kamu jadikan kelinci percobaan.”