Baru saja Kamini hendak membuka pintu depan mobilnya usai seharian mengajar di kampus, Hera keburu datang untuk mencegahnya. Ia diminta untuk meluangkan waktu sejenak mengobrol di taman kampus.
“To the point saja, mau gibahin siapa!” pinta Kamini begitu meletakkan pantatnya di bangku taman. Ia memang sedang tidak ingin berlama-lama mengobrol.
“Sengaja aku mencegatmu karena kabar bagus. Aku punya solusi masalah kamera kebutuhanmu.”
Spontan Kamini mengernyitkan kening.
“Kalau solusinya tawaran pinjaman, aku tolak. Tapi, kalau hibah aku terima dengan tangan terbuka.”
“Siapa yang mau ngasih hibah segede itu? Aku cuma mau beri tahu, ada yang mau jual kamera bekas dengan spek yang kamu butuhkan. Belum satu tahun usia pakainya.”
“Seberapa cepat menangkap gambar?”
“Satu juta fps. ”
“Merknya?
“Phantom.”
“Harganya?” desak Kamini yang paham dengan kamera sains yang dimaksud Hera, mulai kelihatan antusias
“Tujuh ratus ratus lima puluh.”
Langsung saja Kamini termangu. Tak dapat dimungkirinya bila harga yang disebutkan Hera terbilang murah. Di pasaran harga kamera sains berkecepatan sangat tinggi bisa mencapai dua milyar lebih. Ini kesempatan emas. Tak boleh terlewatkan! Baginya, menyingkap pesan di balik senandung misterius yang dilantunkan bunga lavender telah serupa obsesi. Sedangkan persoalan kecepatan kamera justru kendala utamanya.
Hanya saja ia keburu ingat. Kesempatan emas yang datang kepadanya keliru waktunya. Sekarang ini kemampuan finansialnya tengah berada di dasar. Masih jauh dari pailit memang, tapi menanggung banyak tunggakan. Contohnya kredit mobil yang baru lima minggu lalu ia ambil. Angka yang ditawarkan Hera masih sulit terjangkau isi kantongnya. Terkecuali terdapat tenggat waktu pembayaran yang lumayan panjang.
“Dari-mana kamu tahu ada barang bagus semurah itu?”
“Kamu pasti kenal dengan Bu Utari, istrinya almarhum Prof. Atmaja.”
“Walau tak sedekat Prof. Atmaja, tapi aku kenal dengan Bu Utari.”
“Kasihan sekali Bu Utari, setelah ditinggal mati suaminya lima bulan lalu, kabar buruk kembali menghampirinya. Almarhum ternyata memiliki istri simpanan.”
Kamini terdiam. Kendati demikian tiada menampak rona keterkejutan di wajahnya. Seakan-akan ia bisa mengamini cerita Hera.
“Sejak mula aku sudah curiga, almarhum memang memiliki istri simpanan,” ungkap Kamini yang tahu kelemahan Bu Utari. Walau Prof. Atmaja sangat bangga, sering menyanjung-nyanjung, serta rajin mempertontonkan sikap mesra terhadap Bu Utari, namun ada fakta yang sulit diabaikan almarhum, sang istri ternyata perempuan mandul.
“Aku pun sependapat denganmu. Dua minggu lalu seorang perempuan yang lebih muda dari Bu Utari datang ke rumahnya. Dia mengaku sebagai istri kedua Prof. Atmaja. Dia memiliki seorang balita hasil pernikahannya bersama almarhum.”
“Betapa sakitnya Bu Utari, kisah hidupnya tak beda jauh dengan sinetron-sinetron kita.”
“Bu Utari langsung syok, marah, dan tak tahan untuk mendamprat habis perempuan itu. Tapi, setelah perempuan itu bercerita kondisi anak balitanya, kemarahan Bu Utari langsung surut. Bu Utari malah jatuh simpati.”
“Simpati? Padahal perempuan itu datang untuk meminta jatah harta waris si anak.”
“Bukan harta waris yang diinginkannya. Dia hanya ingin Bu Utari tahu, satu-satunya keturunan Prof. Atmaja hanya anak itu. Malangnya anak itu menderita kelainan jantung.”
Keduakalinya Kamini terdiam.
“Butuh biaya besar untuk mengobati penyakit bocah itu. Sedangkan dirinya mengaku tak punya apa-apa dari pernikahannya dengan almarhum. Karenanya dia memberanikan diri datang, dan memohon pertolongan pada Bu Utari.”
“Mulia sekali hati Bu Utari. Rasa sakit hatinya malah dibalas dengan empati.”
“Begitulah sosok Bu Utari. Tak cuma berniat mengobati, tapi Bu Utari juga bertekad untuk membiayai kehidupan anak itu kelak. Bu Utari akhirnya menjual kamera peninggalan Prof. Atmaja.”
“Apa almarhum tak meninggalkan warisan harta? Sampai-sampai kamera canggih itu yang dijual Bu Utari.”
“Prof. Atmaja itu ilmuwan yang murni mengabdi pada ilmu pengetahuan. Orangnya hidup sederhana. Tak banyak harta simpanan yang diwariskan pada Bu Utari. Salah satu barang peninggalan almarhum yang bernilai, ya cuma kamera itu.”
“Janggal juga. Almarhum tak punya banyak harta, tapi punya kamera yang mahalnya gak ketulungan.”
“Kamera itu hadiah dari koleganya di Jerman. Almarhum punya banyak link ke lembaga riset di luar.”
Kala Hera menuturkan bagaimana Prof. Atmaja mendapatkan kamera sains yang dibutuhkannya, Kamini merasa cemburu. Ia tak memiliki kemampuan layaknya Prof. Atmaja yang lincah dalam mencipta jejaring. Dirinya kurang luwes dalam bergaul. Jangankan memasuki jaringan internasional, di dalam negeri saja Kamini merasa terkucilkan. Kendati punya sederet penghargaan, namun dirinya kerap kalah bersaing dalam memperebutkan dana penelitian.
Contohnya, pahit yang dirasakan kala dirinya gagal beroleh dana riset beberapa waktu lalu. Memang Kamini boleh berdalih akibat kurang dukungan dari direktur Arena Riset. Barangkali dikarenakan ketidakbersediaan suami untuk mengikuti ajang lomba musikalisasi puisi. Hanya saja ia sukar memungkiri pula, ketidakmampuannya dalam menguasai jurus-jurus lobi sepertinya malah lebih layak untuk disalahkan.
“Aku berminat, Her! Tapi, sepertinya bakal banyak peneliti lain yang mengincar.”