Kembang Berdendang

Omius
Chapter #16

Jejak Lavender

Kamini tak buru-buru menuntut respons suaminya. Ia memilih menunggu sembari memberi kesempatan suaminya berpikir. Kendati demikian dari lamanya suaminya termenung, ia sudah dapat memprediksi hasilnya. Kelihatannya suaminya tengah bimbang, mungkin keberatan dengan permintaannya.

Masih duduk di kursi meja makan usai santap siang bersama di rumah, Kamini akhirnya bercerita pada suaminya tentang tawaran kamera canggih dari Bu Utari. Walau tahu jika tabungan suaminya sama-sama telah menipis, tapi ia tetap berharap suaminya akan memberinya solusi. Kalaupun tak mampu memberi solusi, minimal suaminya mengerti akan obsesinya sekarang ini.

Setelah menyesali rezeki yang tiba-tiba datang, namun tiba-tiba juga raib begitu saja Kamini baru tersadar dari lupa. Sesungguhnya terdapat hal yang boleh diandalkan dari suaminya. Yang kiranya akan dapat membantu menyelesaikan kendala yang tengah dihadapinya saat ini. Tak heran bila ia akhirnya bersedia mengutarakan unek-uneknya pada suami.

Mudah-mudahan suaminya bersedia menjual aset paling berharga selain rumah, yakni sebidang tanah kaveling. Menurut perhitungannya, hanya tanah kaveling yang dapat memuaskan hasrat dirinya memiliki kamera sains. Meski berlokasi di pinggiran Jakarta, alias di Kota Depok, namun harga tanah di sana tak terpaut jauh dengan Jakarta. 

“Sebegitu pentingkah kamera mahal itu?” respons yang akhirnya keluar dari mulut suaminya.

“Mas Has, kan tahu kalau istrimu seorang peneliti? Bagi seorang peneliti, tiada hal yang paling memuaskan batin selain keberhasilan mengungkap fenomena alam.”

“Persoalannya kali ini kamu bukan hendak meneliti, cuma mau bersikukuh bukan lagi halu!”

“Mas Has, justru kamera yang mau kubeli itu bisa mengungkap, benarkah istrimu suka halu, atau memang benar kembang lavendernya bisa nyanyi.”

Beruntung suaminya enggan menimpalinya lagi, sehingga keduanya tidak lantas terjebak perdebatan mubazir. Kamini hanya kemudian mendengar embusan nafas panjang suaminya, seperti tengah menyesalkan.

“Andai dari kemarin-kemarin kamu bercerita, aku tak perlu menguras tabunganku buat beli kavling tanah.”

“Tanah itu investasi. Apalagi tanah yang dibeli Mas Has lokasinya strategis. Begitu Mas Has memancang plang penjualan, pasti akan banyak orang antre membeli.”

“Bisa saja aku jual tanah itu, cuma masalahnya ....”

“Jangan kuatir Mas Has, ada temanku yang sudah menyatakan hasrat membeli! Hari ini Mas Has jual, besok dia bayar tunai,” timpal Kamini. Ia girang karena suaminya terlihat tak keberatan menjual tanah kaveling. Padahal baru tiga bulan lalu suaminya membeli tanah kaveling.

“Bukan masalah calon pembeli, tapi ....”

“Kalau cuma sertifikat tanah yang belum keluar, itu cuma soal waktu. Temanku akan mudah kuberi pengertian. Dia sangat percaya kepadaku.”

“Yakin temanmu bakal langsung membeli tanah kita?”

“Seribu persen yakin!”

“Meskipun tanahnya cuma bisa diakses oleh sepeda motor?”

“Bagaimana sih Mas Has ini?” cukup kesal Kamini atas pernyataan barusan suaminya, seperti asal bicara saja. Sedangkan menurutnya, topik perbincangan mereka tengah memerlukan keseriusan berpikir. “Sudah enam kali aku meninjau tanah kita. Setiap kaveling selalu dikelilingi jalan mobil.”

“Di dalam kompleks kaveling memang jalan mobil telah tersedia. Yang jadi persoalan, tanah yang sedianya menjadi akses masuk kompleks kaveling tengah dipersengketakan. Ada orang yang menggugatnya ke pengadilan.”

Kamini ternganga.

“Mas Has kemarin bilang, seluruh tanah kaveling bukan lahan sengketa, tapi kenapa sekarang jadi bermasalah begini?” Kali ini Kamini benar-benar kesal pada suaminya, ceroboh sekali. Suaminya malas memperhatikan keabsahan surat-surat kepemilikan tanah kaveling.

“Gugatannya baru muncul lima hari lalu. Kamu tenang saja!”

“Bagaimana bisa tenang kalau tanah kita ternyata cuma di dalam gang! Nilainya sudah pasti akan terjun bebas!”

Lihat selengkapnya