Kembang Berdendang

Omius
Chapter #17

Teman Ayah

     Seperti biasa selesai memberi mata kuliah pada mahasiswanya, Kamini tak langsung bergegas pulang ke rumah. Ia memilih berkutat dulu di ruang instruktur laboratorium fisika dasar.

         Siang ini Kamini terlihat berbeda. Walau duduk di depan meja praktikum, namun tak satu pun alat-alat instrumen menemaninya. Hanya sebuah laptop yang bersamanya di atas meja praktikum. Selain itu badannya pun tak mengenakan jas lab. Kamini tak ubahnya dengan seorang sekretaris. Sekedar duduk manis sambil mengetik di laptop.

         Sebuah proposal pengajuan dana penelitian tengah dibuatnya. Ini adalah harapan terakhir Kamini agar mampu membeli kamera sains kebutuhannya. Ia sudah melupakan tawaran murah kamera Bu Utari. Selain tenggat waktu pembayaran tinggal menyisakan satu hari lagi, temannya juga urung membeli tanah kaveling suaminya yang tengah dalam sengketa.

          Bukan kali pertama dirinya mengajukan proposal. Mungkin sudah kesekian belas kalinya. Sejumlah lembaga penyedia dana riset diketahui telah terkirim proposalnya. Hanya saja karena dirinya tak piawai dalam menuliskan proposal menarik, tiada satu pun lembaga penyedia dana riset berkenan menanggapinya secara positif. 

         “Tanpa koneksi orang dalam, percayalah proposalmu tak bakal dilirik orang!” suara Hera yang menyeruak di tengah keramaian laboratorium. Saat ini memang jam praktikum mahasiswa. Suasana laboratorium sudah mirip pasar saja, terkecuali di ruang instruktur tentunya.

         Adalah tabiat Kamini. Ketika seseorang─khusus untuk teman akrabnya─ mengusik konsentrasinya saat berkegiatan, ia cukup menimpalinya dengan tak acuh. Fokusnya enggan bergeser dari layar laptop.

         “Modal otak encer, tapi kuper macam kamu tak bakalan bisa menang di negeri ini, Ni. Kamu mesti lebih banyak berada di luar lab. Sering-seringlah bersosialita agar terhubung dengan jaringan orang!”

         Kamini bergeming.

         “Aku telah membantumu dengan memperkenalkan Pak Anwar. Tapi, kamu malah ogah bekerja sama.”

         “Kan, aku sudah bilang kalau Pak Anwar memintaku menyiapkan uang pelicin?” timpal Kamini, tetap fokus mengetik di laptop

         “Ini Indonesia, Ni. Bukan Negeri Matahari Terbit tempatmu dulu bersekolah. Jangan kamu samakan!”

         Serta-merta Kamini berhenti mengetik. Ia mulai memalingkan muka pada Hera yang telah berdiri di sampingnya. Lebih dulu menyorotkan sinar matanya yang tajam pada Hera, ia lantas berucap lagi. “Her, kita sama-sama pernah menulis tandatangan di spanduk dukungan KPK. Alangkah munafiknya kita. Setiap hari rajin mencaci mental korup aparatur kita, tapi kita sendiri diam-diam memanfaatkannya demi kepentingan sendiri.”

         “Hey, rileks!” pinta Hera yang tak nyaman dengan sorot mata menghakimi Kamini, “soal bagaimana Ini berprinsip, itu pilihanmu. Tentu aku harus menghormati idealismemu. Tapi, sebagai teman aku juga punya kewajiban membantumu.”

         Kamini menyadari kekeliruannya. Ia terlampau reaktif merespons ucapan Hera. Sebuah senyum rasanya cukup untuk mengendurkan urat-urat serius di wajahnya. Dengan lebih santai ia pun kembali berucap, “Mungkin karena kamu terlalu sering membantuku, hingga terkadang aku abai untuk berterima kasih.”

         “OK, kita lupakan saja soal Pak Anwar! Aku beroleh info baru. Bu Utari ternyata batal menjual kamera peninggalan suaminya. Jangan tanya alasannya karena aku benar-benar enggak tahu!”

         “Kelihatannya kamu mau mengatakan, sebaiknya proposalku dikirim ke alamat Bu Utari saja. Ubah pula isinya. Dari pengajuan dana menjadi pinjam kamera,” timpal Kamini yang parasnya langsung berseri-seri. Hera kembali memberinya harapan.  

         “Tadinya memang begitu. Tapi, setelah tahu kemarin lusa Bu Utari pindah rumah ke Bali, kupikir percuma juga.”

         “Belum dikirim saja sudah bilang percuma. Kamu ini gampang sekali kalau menyangkut urusan menyerah.”

         “Ibu dosen yang cantik, yang inovatif, dan yang berprestasi setinggi langit tolong dengar dulu kata-kata sahabatmu! Proposalmu butuh alamat sebelum dikirim. Sedang alamat Bu Utari di Bali aku tak tahu”

         “Akun e mail?”

         “E mail, WA, maupun semua akun-akun sosmed Bu Utari aku tak tahu, atau malah enggak punya.”

         “Masa sih di era sekarang masih ada orang yang polos dari jejak digital. Bu Utari, kan baru lima puluhan? Belum tua-tua amat, mana wanita berpendidikan lagi.”

         “Ni, aku ingatkan lagi kalau beliau orangnya memang baik, tapi introvert! Beliau menjauh dari alam digital bukan karena gaptek, tapi memang sudah diniatin saja.”

         Terdengar embusan nafas Kamini. Ia tak mengerti, mengapa Hera sering sekali memberinya harapan fatamorgana. Ingin rasanya ia menyarankan Hera, agar terlebih dahulu menimbang-nimbang sebelum memberinya asa. Apakah akan berakhir semu, atau nyata. Hanya saja Kamini harus memperhitungkan kemungkinan Hera tersinggung. Bagaimanapun juga Hera adalah sahabat terdekatnya.

         “Eh, sudah lewat jam satu, kamu enggak jemput Lala?”

         “Mas Has tadi kirim WA. Khusus di hari ini dia yang jemput Lala.”

         Baru setengah jam lalu Kamini dikejutkan oleh pengakuan suaminya di ponsel. Kata suaminya, Lala turut pulang bersama dalam satu mobil. Padahal ia tidak meminta suaminya untuk menjemput Lala. Suaminya berdalih tengah kebetulan lewat di depan sekolah Lala. Karena merasa segar, suaminya percaya diri tak bakalan didera kantuk lagi sewaktu menunggu Lala di Taman Widya.

         Tentu saja Kamini menuntut bukti pengakuan suaminya. Ia meminta vido call bersama Lala. Dan ia merasa lega karena Lala didapatkannya memang berada di mobil suaminya.

         “Baguslah kalau kamu tak jemput Lala. Kebetulan hari ini mobilku masuk bengkel. Aku tadi ke kampus diantar suami.”

         “Aku heran, di era angkutan online masih saja tersisa orang yang hobi nebeng mobil,” sentil Kamini yang mengerti maksud Hera. Selanjutnya ia menutup layar laptop miliknya, dan bersiap-siap pulang ke rumah bersama Hera.

Lihat selengkapnya