Kembang Berdendang

Omius
Chapter #18

Teman Mengobrol

          Kamini belum berniat menyelisik sosok bernama Mirna. Tidak masalah bila lima hari lalu nama itu sempat menggelitik rasa penasarannya. Ada yang menurutnya jauh lebih menggugah keingintahuannya. Tentang pengakuan selanjutnya dari mulut Lala.

         Lala mengaku kerap melihat mobil ayahnya melintas di jalan depan sekolah. Bukan sekedar melintas saja, mobil ayahnya juga kerap terlihat parkir di Taman Widya. Menurut Lala, mobil ayahnya biasa muncul pada jam istirahat kedua. Lantas berlalu pergi lagi tanpa menunggu dirinya pulang.

         Kamini sendiri pernah memergoki mobil suaminya melintas di depan sekolah Lala, termasuk parkir di Taman Widya. Malahan suaminya dipergoki membawa seorang perempuan di dalam mobil. Namun, demikian tidaklah suaminya pernah mengaku sering mondar-mandir di depan sekolah, seperti cerita Lala.

         Hari ini Kamini sengaja datang ke Taman Widya. Kebetulan jam mengajarnya telah selesai sampai pukul sebelas siang. Cukup waktu baginya agar dapat memata-matai suaminya. Sebelum nanti meminta konfirmasi langsung, Kamini memang harus terlebih dahulu melihat sendiri kejanggalan perilaku suaminya.

         Sembari menunggu jam sekolah Lala usai, seperti biasanya ia akan duduk di bangku taman yang menghadap deretan pot-pot tanaman bunga lavender. Karenanya begitu memasuki gerbang taman, langkah kakinya sudah mengarah ke bangku taman tersebut. Kamini kurang beruntung, kiranya bangku taman yang ditujunya telah diduduki oleh seorang perempuan.

         Sedang menggerutu karena didahului orang, tahu-tahu telinganya mendengar perempuan tengah berdendang. Dendang suara yang melantunkan lagu klasik berbahasa Belanda, Als de Orchideen Bloeien. Ia pun mendapati jika kata orchideen di lagu tersebut diganti lavendel.

         Tentu saja ia tak asing dengan lagu yang tengah didendangkan ini. Dendang suara yang menurutnya biasa dilantunkan bunga lavender. Tetapi, bukankah hari ini dirinya merasa belum sempat menyirami bunga lavender di Taman Widya? Anehnya dendang suara itu tetap berkumandang juga.

         Kala mempertanyakan ketidakkonsistenan bunga lavender dalam berdendang, ia mendapati hal berbeda dari dendang suara yang terdengar ini. “Warna suaranya bukan warna suara si nenek. Pelantunnya masih muda, masih sepantaran denganku. Bukan kembang lavender yang sedang bernyanyi, tapi orang lain!”

         Masuk akal. Kemungkinan besar telinganya saat ini hanya mendengar pengunjung taman yang tengah berdendang. Kebetulan saja judul lagu yang dipilih adalah Bunga Anggrek versi Belanda. Pendapatnya juga didukung oleh embusan angin yang cukup berasa di siang ini. Sepertinya angin yang telah menghantarkan dendang suara tersebut hingga tertangkap gendang telinganya.

         Kendati demikian Kamini tetap mengeryitkan keningnya, kenapa kata Orchideed di lirik lagu tersebut tetap diganti lavendel. Si pelantun seolah-olah ingin meniru senandung yang dilantunkan bunga lavender.

         “Berarti bukan aku saja yang mampu mendengar kembang lavender bernyanyi, tapi orang lain juga! Bedanya itu orang gemar mendendangkan ulang lagunya,” gumamnya, merasa girang karena punya teman yang mampu mendengar dendang suara bunga lavender juga. Semakin terbukti jika telinganya tidak sedang mengalami halusinasi pendengaran. 

         “Kayaknya perempuan yang duduk di bangku taman pelantunnya.” Tudingannya didukung oleh ketajaman bola matanya. Meski masih cukup berjarak dengan posisi berdirinya, namun bola matanya mendapati mulut perempuan yang dicurigainya itu tengah komat-kamit. “Biar memastikan baiknya kusambangi saja dia!”

         Berjalan kaki menuju bangku taman, telinganya tak lagi menikmati lantunan dendang suara. Sepertinya perempuan itu telah berhenti berdendang. Namun, begitu langkah kakinya mulai mendekati bangku taman, mendadak hidungnya mencium wangi parfum.

         “Lavender ...,” desisnya. Ia meyakini, perempuan yang tengah duduk di bangku taman biang merebaknya aroma parfum ini. Selain perempuan itu, tiada pengunjung taman lain didapatkannya di sekitarnya sini.

         “Permisi, Mbak, boleh saya duduk di sebelah!” mohon Kamini pada perempuan yang tengah duduk di bangku taman. Karena bangku taman didesain untuk dua orang, ia merasa berhak duduk di sana juga karena milik umum

         Sebelumnya perempuan yang duduk di bangku taman sempat menoleh kepadanya, juga tersenyum untuknya. Kamini memperhatikan, alangkah berbinarnya paras perempuan berdagu lancip di hadapannya ini kala berkalung senyuman. Dalam penilaiannya, binar-binar itu tak cuma bermakna mahkota senyum belaka, namun wujud ketulusan hati si pemilik senyum. Hanya mereka, para pribadi-pribadi hangat yang berhak tersenyum ala perempuan matang di depannya.

         “Oh, silahkan duduk, Mbak! Malah saya senang ada yang nemanin ngobrol.” jawab perempuan berdagu lancip itu. Warna suaranya terdengar lembut. Tampaknya ia tidak keberatan berbagi kursi dengan pengunjung taman lain.

         Duduk berdampingan dengan perempuan berdagu lancip itu, Kamini tak lantas memperkenalkan diri. Lebih dulu benaknya tertarik memperhatikan tampilan perempuan berdagu lancip itu. Mulai dari sepatu hitam datar, busana yang terkesan formal, sampai gaya rambut yang disanggul rendah. Menurutnya, tampilan perempuan berdagu lancip itu semuanya serba rapi.

         Bukan sekedar rapih, Kamini juga menilai jika perempuan berdagu lancip itu stylish. Terlihat dari pemilihan blazer hitam tanpa kerah yang melapisi sleeveless putih. Dipadukan dengan rok hitam bercorak garis-garis putih saling melintang. Walaupun hanya bertema hitam dan putih, namun pakaian simple yang dikenakan perempuan itu terlihat elegan. 

         Smart and modis. Benaknya sampai terkesan atas kreasi padu padan teman sebangkunya. Meski dirinya bukan seorang penggila mode,─ malah seringnya ketinggalan mode─ tapi Kamini selalu senang melihat perempuan-perempuan tampil bergaya, seperti perempuan matang di sampingnya ini.

        “Perkenalkan, Mbak. Saya Ka ....”

         “Eh, ada yang ketinggalan rupanya!” Belum juga Kamini hendak memperkenalkan namanya, tiba-tiba saja perempuan berdagu lancip itu lantang menyeru, serta sekaligus memotong kata-katanya.

Lihat selengkapnya