Masih dengan nafas tersengal Kamini akhirnya tiba di depan pintu lift. Di sana urat kesabarannya menegang kembali. Lift yang ia tunggu betah sekali singgah di lantai atas. Lift tak mau tahu kalau dirinya tengah menanti-nanti.
Lift akhirnya tiba di lantai bawah. Saat pintu lift mulai terbuka, Kamini sudah tak tahan agar bergegas masuk. Apalagi tiada seorang pun yang antre di belakangannya. Sedangkan di dalam lift empat orang tengah bersamaan melangkah keluar. Termasuk seorang perempuan berdagu lancip yang tiba-tiba menghentikan langkah kaki.
“Kalau mata saya tidak salah, ini Mbak Kamini ya?” sapa perempuan berdagu lancip itu setengah tak percaya. Telunjuk kanannya ia angkat mengarah pada Kamini.
Berbeda dengan perempuan yang barusan menyapanya, Kamini bukan lagi hanya sekedar tak percaya. Ia justru amat terperanjat. Perempuan itu, perempuan yang sepanjang hari telah mengacak-acak emosinya. Yang mencipta kemarahan tiada tara di benaknya sekonyong-konyong menampak di hadapannya.
Dia sok innocent sekali! Andai dia tahu darahku masih mendidih oleh kelakuannya. Kelihatannya ia sukar menahan geram. Dirinya terlalu muak atas sikap tanpa dosa yang diperlihatkan Mirna.
Akan tetapi, Kamini tetaplah Kamini. Seorang wanita yang terbiasa bersikap rasional. Tak peduli seberapa dalam perasaannya terluka, atau emosi tengah mendidihkan seisi kepala, namun dirinya masih berpikir ulang untuk mendamprat habis Mirna. Ia sadar diri di mana saat ini berada. Rasanya sungguh tak elok memaki-maki di tempat orang-orang sakit. Terlebih saat ini ada pasien yang mesti secepatnya ia tengok. Yang tak lain suaminya sendiri.
Jalan tengah lalu diambilnya. Tidak lantas menyahut, tidak pula mendamprat Mirna, Kamini hanya bergegas masuk ke dalam lift. Bahunya sempat bersenggolan dengan bahu Mirna. Hingga perempuan itu terdorong selangkah ke belakang.
Tapi, Kamini enggan acuh. Ia malas meminta maaf, dan lebih memilih menutup pintu lift. Meninggalkan Mirna yang melongo melihat ketidaksopanan perilakunya.
Berada di dalam lift Kamini hanya merasakan riuh suasana batinnya. Layaknya karnaval, beraneka rasa tumpah ruah di dalamnya. Ada marah, sakit hati, kecewa, sekaligus cemas bukan kepalang. Mirna rupanya telah memosisikan diri sejajar dengannya. Mirna merasa punya hak mendampingi suaminya saat tak berdaya.
Bahkan sebelum datang kemari perasaannya pun sudah karut marut. Bagaimana tidak? Usai paket kiriman Mirna menyulut sentimentalnya, tiba-tiba saja Kamini beroleh kabar memeranjatkan. Kabar itu bersumber dari Fitria, temannya yang bekerja sebagai perawat rumah sakit Mayapada Hospital Bogor.
Lewat ponsel Fitria mengabarkan bila suaminya tengah tak sadarkan diri, dan berada di instalasi gawat darurat rumah sakit tersebut. Suaminya baru saja mengalami kecelakaan lalu lintas. Karena rem blong, mobil suaminya menyerempet pohon di pinggir Jl. Raya Pajajaran Bogor.
Lunglai seketika Kamini. Adalah kali pertama dirinya mendengar suaminya mengalami kecelakaan. Kabar buruk ini serta merta memalingkan amarahnya. Fokus Kamini tak lagi tertuju pada Mirna. Kondisi suaminya menjadi perhatian utamanya kini. Ia harus secepatnya melarikan mobilnya ke arah Bogor.
Lift akhirnya tiba di lantai tempat ruang inap kelas VIP. Deru nafas Kamini masih tetap kencang meski telah keluar dari dalam lift. Malah semakin kencang ketika tiba di depan pintu kamar 11, kamar di mana Hastama dirawat.
“Mas Has....,” sapa Kamini begitu masuk ke dalam kamar 11. Ia tampak cemas sekali melihat kondisi suaminya. Suaminya yang biasa terlihat olehnya bugar, kini cuma terkulai lemas di atas ranjang. Lilitan perban membalut kepala bagian atas suaminya. Kamini menduga, ada masalah serius di bagian tubuh yang menyimpan akal pikiran suaminya.
Suaminya enggan bereaksi. Rupanya suaminya sedang mendengkur, tertidur pulas. Sampai-sampai dengkur yang terdengar lebih nyaring dibanding suara embusan angin AC. Kamini boleh merasakan lega sekarang.
Baru saja duduk di kursi samping ranjang suaminya, hidungnya malah mengendus semerbak wangi berseliweran di kamar 11. Wangi yang menurutnya berasa sekali, serta seketika mampu mengendurkan ketegangan di sekujur syaraf-syarafnya.
“Kembang lavender lagi ....”
Menyesal sekali, dirinya telah kandung mual oleh kemunculan segala hal yang berbau bunga lavender. Kamini sulit menikmati lagi aroma menenangkan bunga indah itu. Seperti enggan mengenal jemu, kali ini jejak bunga lavender mengejeknya lewat wangi yang disebar diffuser aroma terapi. Diffuser yang bentuknya mirip telur itu didapatkannya tengah ditaruh di atas meja dorong.
“Brengsek, dia tahu aja cara bikin pulas Mas Has!”
“Ini ... kapan datangnya?” terdengar suara lirih suaminya. Spontan Kamini mengalihkan perhatiannya dari diffuser aroma terapi. Tertampak olehnya Hastama yang telah membuka kelopak mata.
“Mas Has jangan bangun dulu, tetap rebahan saja!” pinta Kamini, mencegah suaminya yang hendak bangun dari rebahan. Tangannya sigap menuntun bahu suaminya agar kembali rebahan di ranjang.
“Enggak perlu seresah ini, aku enggak apa-apa kok!”
“Enggak resah bagaimana! Pagi-pagi Mas Has masih sehat-sehat saja, tapi siang hari sudah begini.”
“Namanya juga kecelakaan. Wajar bila jadi begini. Lagian aku cuma dimasukkan ke kamar rawat inap biasa, bukan ruang ICU.” Enteng Hastama menjawab kecemasan istrinya. Suaranya tak lagi terdengar lirih. Ia malah kembali meminta istrinya agar tak mengkhawatirkannya. “Yang mesti dicemaskan justru mobilku yang ringsek.”
“Malah mikirin mobil! Mau hancur sekalipun tetap saja mobil Mas Has punya asuransi. Coba pikirkan kepalamu ini!” seru Kamini sambil mengusap kain perban yang membekap kepala suaminya.
Mendapati luka di kepala suaminya, empati langsung tercurah begitu saja. Padahal dirinya tengah memendam dongkol pada suaminya. Terlebih Mirna telah mendahuluinya berada di sini.
“Pelipis kananku robek. Dokter sudah menjahitnya. Sakitnya cuma sedikit terasa.”