Kembang Berdendang

Omius
Chapter #22

Lavender Punya Cerita

Ternyata masih tersisa orang-orang berintegritas, bahkan teramat jujur di negeri ini. Kamini berpendapat seperti itu dikarenakan menemui sendiri orang-orang yang dimaksudnya. Padahal dirinya kadung menganggap kejujuran hanyalah produk utopia di negeri ini.

Patut disesalkan, kenapa orang-orang jujur itu bukanlah mereka, golongan elite yang telah diberi amanat dari rakyat untuk mengendalikan kekuasaan. Ia justru menemukannya pada kalangan marginal, kalangan orang-orang yang saban hari bertugas mengangkut sampah di kompleks rumahnya.

Membayangkan pun tidak, bahwa kamera berkecepatan supertinggi pembelian suaminya akan kembali ke tangannya lagi. Kamini sudah berpikir jika kamera yang diidam-idamkannya memang tidak berjodoh dengannya. Kamera tersebut lebih suka diangkut petugas sampah dibandingkan jatuh ke pelukannya. Sedangkan harganya terbilang selangit sekalipun bekas pakai.

Yang kemudian terjadi sungguh di luar dugaan. Petugas sampah yang biasa bertugas di kompleks tempat tinggalnya malah mengembalikan lagi kameranya. Padahal dengan bungkus paketnya yang sudah dirobek, semestinya para petugas sampah itu boleh menganggap kamera di dalamnya serupa rezeki bagi mereka. Namun, mereka justru memilih mengirim balik ke alamat yang berhak menerimanya.

“Waktu kami mengumpulkan sampah di tempat penampungan sementara, kami menemukan paket yang masih utuh. Kami curiga kalau paketnya tidak sengaja terbuang ke tong sampah. Lalu bungkus paketnya kami buka, ada kamera di dalamnya. Karena tertera alamat di bungkus paket, kami lalu mengembalikannya ke rumah Ibu.”

Sampai Kamini berkaca-kaca mendengar penuturan salah seorang petugas sampah. Ia layak merasa terharu. Bagaimana tidak terharu, sudah enggan mengambil isi paket yang bukan haknya, bahkan mereka masih bersedia mengantarkannya ke alamat tujuan paket. Siapa mengira, di balik tubuh-tubuh berlumuran kotoran maupun bau busuk sampah tersimpan jiwa-jiwa yang mengilap. Belum ditambah semerbak wangi kejujuran.

Benar, suaminya pernah juga berkelakuan serupa. Malahan dari segi harga barang yang ditemukan suaminya jauh lebih bernilai. Hanya saja suaminya terbilang berasal dari golongan menengah, yang setidaknya masih mampu untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup dasar.

Lain halnya dengan para petugas sampah berhati mulia itu. Dengan pendapatan yang pas-pasan, sekedar memenuhi pangan untuk keluarga saja mereka sudah terengah-engah. Luar biasanya mereka enggan tergoda, tetap komitmen pada nilai-nilai.

Akibat tulisan Pencinta Lavender tertera di paket yang diterimanya, emosi tak lagi dapat dikendalikan nalar sehatnya. Kamini menolak mentah-mentah rumahnya didatangi segala pernak-pernik yang berbau lavender. Ia yang waktu itu masih berpikir Mirna adalah perongrong keutuhan rumah tangganya, lekas membuang paket yang baru diterimanya ke tong sampah tetangga. Ia enggan memeriksa terlebih dahulu isi paket.

Kalau bukan karena cerita suaminya sewaktu menjenguk di rumah sakit, tak bakalan Kamini sempat didera dilema, mengikuti obsesi, atau malah patuh pada nurani. Syukur, waktu itu otaknya masih waras. Tak peduli isi paket akan sangat berpengaruh pada obsesinya, ia akhirnya memilih merelakan saja kamera yang teramat dibutuhkannya diangkut petugas sampah. Kondisi suaminya yang mendadak kesakitan mengurungkan rencananya, berpacu dengan waktu demi menyelamatkan paket berisi kamera idamannya.

Syukur kembali, suaminya lekas membaik. Menurut dokter, rasa sakit di dada suaminya hanyalah memar akibat benturan. Ditambah efek obat penghilang rasa sakit yang telah memudar, suaminya akhirnya tampak menderita. Sedangkan Kamini sempat khawatir sekali. Semakin membaik kondisi suaminya, dokter lekas mengizinkan suaminya pulang ke rumah.

Mendapatkan kembali kamera berkecepatan supertinggi, segenap isi kepalanya lantas kembali tercurah pada bunga lavender. Semangat menelitinya membuncah lagi. Ia optimis mampu membongkar rahasia komunikasi ala bunga lavender, sekaligus mengungkap pesan yang hendak disampaikan bunga indah tersebut sewaktu bersenandung.

Hari-hari selanjutnya Kamini hanyalah kembali berkutak di laboratorium kampusnya. Berbekal kamera sains berkecepatan supertinggi, menurutnya hanya persoalan waktu saja pola getar rambut-rambut halus di sekujur daun lavender akan dapat diketahuinya.

Lacur, sampai tak terhitung banyaknya kamera canggih pembelian suaminya merekam, namun video yang dihasilkan tetap seperti kamera sebelumnya, hanya menampilkan gambar rambut-rambut halus yang statis tanpa pergerakan sedikit pun.

Tak habis pikir Kamini, kiranya kamera yang sangat diandalkannya ternyata sama saja. Tak mampu merekam getar-getar rambut halus di daun bunga lavender, apalagi sampai memperlihatkan sebuah pola. Padahal senandung Als de Orchideen Bloeiem yang dilantunkan bunga lavender, menurutnya malah lebih nyaring terdengar di laboratorium dibandingkan sewaktu masih berada di Taman Widya.

“Parah, parah banget! Masa kamera canggih kalah sensitif sama mataku!” omelnya.

Ironi memang. Justru bola matanya sempat melihat jika rambut-rambut halus yang tengah mencuri perhatiannya memang bergetar, seperti mengikuti sebuah pola malah. Sayangnya bola matanya cuma mampu menangkapnya dalam sekejap mata. Ia kesulitan menggambarkan pola getar rambut-rambut halus itu.

“Tahu gini uang pesangon Mas Has mending dipakai pelesiran ke luar negeri saja. Mahal-mahal kameranya dibeli, tetap saja enggak ada gunanya sama sekali,” omelnya lagi.

Ketika frustrasi mulai menyambangi mendadak ia berpikir lain. Jangan-jangan kembangnya sendiri yang bikin kamera tak berkutik. Dia memang ingin menyampaikan pesan untukku, tapi begitu tahu kalau aku ternyata mengobservasinya, dia memilih tutup diri. Dia enggak rela rahasianya terbongkar olehku.

***

“Mbak Kamini, kalau punya waktu luang mari kita main-main ke rumah saya yang di Bogor, buat lihat-lihat lavender di kebun.”

Mirna, sosok perempuan yang beberapa hari lalu sempat menanamkan kebencian padanya mengontaknya di akhir pekan. Terang Kamini antusias dengan ajakan Mirna. Ia yang tengah menjalin kedekatan dengan bunga indah itu─sama halnya terhadap Mirna, bunga lavender sempat pula menjengkelkannya meski cuma sehari─, tahu-tahu ditawari melihat-lihat kebun lavender milik Mirna.

Kamini sudah tidak lagi menganggap Mirna sebagai ancaman keutuhan rumah tangganya. Terbukti sudah jika ancaman itu muncul karena mencuatnya pikiran negatif di dalam isi kepalanya. Sampai-sampai nalar sehatnya tersingkir. Mirna ternyata malahan berperan bak Malaikat penolong karir suaminya.

Tak terbayang seperti apa suasana batin suaminya saat ini andai Mirna enggan menolong. Suaminya akan semakin merasa rendah diri di hadapannya. Malah mungkin suaminya lalu menganggap, mendampingi dirinya hanyalah bentuk penyiksaan batin. Kondisi yang sama sekali tidak diharapkannya, mengingat suaminya berpotensi menyingkir darinya.

Dalam satu kesempatan bersua Mirna, Kamini sampai tak ragu berterus-terang sempat menuding negatif atasan suaminya itu. Ia pun tak ragu langsung meminta maaf, sembari mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan Mirna pada suaminya.

Di lain sisi Mirna malahan memuji-mujinya. “Ada banyak orang berbesar hati, bersedia meminta maaf karena tindakan salah. Tapi, cukup langka orang meminta maaf cuma gara-gara sempat berprasangka macam Mbak Kamini.”

Tiba di kebun lavender milik Mirna yang terletak di pinggiran Kota Bogor, Kamini sudah langsung terpukau akan warna-warni bunga lavender yang sedang bermekaran. Jauh lebih semarai dibandingkan pemandangan serupa di Taman Widya. Baru pertama kalinya ia menyaksikan bunga lavender berwarna putih, merah, bahkan pink. Sebelumnya ia hanya tahu kalau bunga lavender berwarna ungu, serta ditambah warna kuning seperti yang didapatkannya di Taman Widya.

Kebunnya sendiri tidak terlampau luas, hanya seluas tanah-tanah kaveling di komplek perumahan kelas menengah. Sementara rumah Mina sendiri berada tepat di samping kebun lavender. Bunga lavender yang tumbuh di sini tak semuanya tersimpan dalam pot-pot mini, atau menggantung di palet-palet kayu. Lebih banyak yang ditanam langsung di tanah. 

“Sampai seindah ini kebun lavendernya, Mbak Mirna belajar dari-mana ilmu berkebunnya?”

“Dari Oma Wilona, Oma saya sendiri. Semasa hidup beliau pencinta lavender juga, lebih fanatik malah dibandingkan saya. Dari Oma Wilona, ilmu berkebun lavender terus diwarisi sampai generasi cucu.”

“Satu hari saya mesti belajar pada Mbak Mirna. Saya tertarik menanam kembang lavender.”

“Silakan Mbak Kamini bawa lavender di sini untuk ditanam di rumah. Nanti saya kasih tahu cara menanam dan merawatnya.”

“Terima kasih sekali, Mbak Mirna. Sudah dikasih gratis, diberitahu lagi ilmu berkebunnya.”

“Tapi, ingat cukup ditanam saja, jangan lagi jadi obyek penelitian!”

Kamini menyengir. Sepertinya Mirna kurang suka bunga lavender di kebun ini sampai dijadikan obyek penelitian olehnya.

“Lavender, seperti halnya makhluk hidup lainnya berhak untuk hidup juga. Tak semata hidup, mereka juga ingin ketenangan dan kenyamanan. Kala menjadi obyek penelitian lavender akan mengalami stres. Saya tahu mereka tersiksa karena sedari kecil saya tumbuh bersama lavender.”

“Saya mohon maaf, Mbak! Saya tidak tahu kalau kembang lavender yang saya teliti sebenarnya berasal dari kebun ini. Tapi, kembangnya masih tetap hidup kok.”

“Sebenarnya apa yang hendak diteliti Mbak Kamini dari lavender? Padahal kalau menurut cerita Mas Hastama, latar belakang pendidikan Mbak Kamini ternyata fisikawan. Kayaknya kurang begitu nyambung dengan penelitian bunga.”

Lihat selengkapnya