Tetap hanya telinganya seorang, suami maupun orang-orang di rumah tak dapat mendengar dendang suara bunga lavender. Demikian halnya dengan lagu yang didendangkan, tetap lagu lawas favorit neneknya Mirna, Als de Orchideen Bloeien. Padahal warna-warni bunga-bunga lavender telah setahun lamanya semarak menghiasi pekarangan rumahnya. Tahun lalu Kamini memang telah memboyong sejumlah bunga lavender milik Mirna ke pekarangan rumahnya.
Mirna menyebut jika bunga lavender berdendang sesungguhnya hanyalah pemberitahuan, bahwa tanaman hias itu memiliki kemampuan menebar inspirasi. Hanya saja Kamini masih menyangsikannya. Terlebih dirinya bukan seniman, melainkan saintis.
Akan tetapi, bukankah suaminya penggiat sastra? Sedikit banyaknya jiwa seni hadir pada diri suaminya. Andai yang dikatakan Mirna adalah benar, semestinya yang paling merasakan dampak dari kehadiran bunga lavender di rumah tentu suaminya. Kamini yang penasaran akhirnya memutuskan, menjadikan suami sendiri sebagai kelinci percobaan.
Mirna juga menyebut, agar bunga lavender warisan Oma Wilona dapat menebar inspirasi, bunga tersebut setidaknya seminggu sekali wajib disirami air yang berasal dari Sungai Citarum. Malah disyaratkan kualitas airnya mesti selevel di masa Oma Wilona kecil dulu Tentu saja bagi Mirna maupun Oma Wilona, syarat seperti ini bakalan terkendala akibat kondisi Sungai Citarum yang kini tercemar berat.
Kendala serupa ternyata tak berlaku bagi Kamini. Baginya, menjernihkan kembali air yang berasal dari Sungai Citarum hanyalah perkara remeh temeh. Cukup menaburkan sedikit partikel nano hasil rekayasanya, segalon air keruh penuh polutan yang diambil dari Sungai Citarum akan berubah sejernih mata air pegunungan.
Lantas, apakah suaminya telah kebanjiran ide-ide menulis? Hingga setahun berlalu Kamini tetap malas menanyakannya langsung pada suaminya. Ia lebih suka melihat dampaknya dibandingkan pengakuan. Sayangnya belum kentara sekali dampaknya, terkecuali suaminya yang semakin tergila-gila saja menulis karya sastra.
Hal serupa menimpa Lala. Anak itu tetap tak banyak berubah, tetap jelek saat menggambar. Kalaupun guru-guru di sekolah menyebut Lala anak yang kreatif, Kamini tak lantas mengaitkannya dengan tuah bunga lavender. Jauh sebelumnya ia sudah dapat menilai, kreativitas Lala merupakan anugerah yang patut disyukurinya.
Satu lagi, Lala mengaku tak pernah mengulang memimpikan bunga lavender bernyanyi meski terus didesaknya.
Sampai kemudian ketika Kamini baru saja tiba di rumah, suaminya tampak tergopoh menyambutnya di teras rumah. Suaminya seperti telah lama menanti-nanti kepulangannya.
“Ini, kalau malam di tanggal 16 Mei punya waktu luang enggak?”
Tak lantas segera menjawab, bahwa di tanggal tersebut dirinya justru tengah diminta menjadi pembicara utama pada seminar bertema teknologi nano di Bandung, Kamini memilih mengingat kembali hari ketika dirinya diundang ke Istana Negara oleh presiden. Sedangkan di hari itu suaminya sebenarnya juga hendak mengajak dirinya pergi ke ajang Anugerah Pena Nusantara.
Hanya saja suaminya kemudian mengalah, lebih memilih mendampingi dirinya ke istana negara. Padahal itu sama saja dengan menyia-nyiakan satu momen yang diimpikan suaminya, berbagi kebanggaan dengannya.
Kamini percaya, tanggal 16 Mei nanti adalah hari di mana suaminya hendak kembali berbagi kebanggaan dengannya. Amatlah kelewatan andai dirinya memilih menolak ajakan suami, dengan alasan seminar yang telah dijadwalkan. Suaminya bakalan nelangsa lagi. Sedangkan dalam setahun ini suaminya mulai terlihat membaik dalam penerimaan diri.
“Tanggal 16 nanti enggak ada jadwal keluar kota, atau undangan acara apa pun. Cuma ngajar sampai siang hari, terus pulang ke rumah,” jawab Kamini, sengaja berbohong demi suaminya beroleh kesempatan membanggakan diri.
“Bagus kalau begitu. Soalnya tanggal 16 nanti kita akan sama-sama nonton TV3. Waktunya mulai jam delapan malam, cukup yang versi online saja.”
“Buat apa ngabisin waktu nonton TV jiran segala, TV negeri sendiri saja aku sudah jarang nonton terkecuali berita.”
“TV3 akan live dari Oslo, menayangkan acara penganugerahan Hadiah Nobel bidang kedokteran, sains, sampai sastra.”
Lebih dahulu mengerutkan alisnya, kemudian Kamini tertawa ringan.
“Memangnya ada karya sastra Mas Has, yang saking berkualitasnya sampai masuk kandidat peraih Hadiah Nobel bidang sastra?”
“Kalau karyaku masuk nominasi Hadiah Nobel, tentunya seisi negeri bakalan heboh. Sudah gitu pastinya ada saluran TV kita yang nyiarin langsung acaranya.”
“Terus kenapa Mas Has sampai ngajak istrimu nonton TV tetangga?