Tembang kuno Jawa dilantunkan, samar-samar mengisi hampa udara di ruang teras belakang rumah. Mbok Miyem kerap bersenandung untuk menghibur tuannya. Tangan kurus berkeriputnya menyisiri rambut gadis jelita yang duduk membelakanginya.
“Sejak Ibu sering ritual sakral, Samara sering mimpi buruk. Mungkin kepikiran hal-hal aneh tentang kegiatan Ibu sekarang ini,” ucap gadis itu.
Sejenak Mbok Miyem berhenti bernyanyi. Ia mengernyit seraya balas berkata, “Leh weleh, Ndoro, jangan memikirkan yang aneh-aneh. Ilmu Kejawen bukan ilmu sing aneh kok.”
Samara membalikkan badan dan menyahut, “Kalau memang bukan ilmu yang aneh, kenapa Ibu sampai sebegitunya?”
Mbok Miyem mengerucutkan bibir kecilnya. Ia nampak bingung bagaimana harus menjelaskan.
Samara lanjut menggerutu, “Bakar-bakar dupa, sesajen di mana-mana, meditasi sampai tengah malam. Menurutku itu semua terlalu berlebihan.”
Kala Samara duduk membelakanginya lagi, Mbok Miyem lanjut menyisiri rambut cokelat tua panjangnya.
“Kejawen meniko kan ilmu kepercayaan turun temurunnya orang Jawa,” tutur Mbok Miyem. “Ibunya Ndoro kan masih kuat darah Jawa nya—”
“Terserah Mbok deh mau mikir apa, kalau menurutku sih tetap aneh,” ujar Samara yang tetap kukuh pada pemikirannya sendiri.
Si Mbok berkemben itu pun hanya terkekeh mendengarnya menggerutu kesal.
Samara menyudahi pembicaraan dan beranjak dari lantai teras berwarna merah delima itu. Sebelum meninggalkan si Mbok, ia memberitahunya, “Dan satu lagi; Mbok enggak perlu panggil-panggil aku Ndoro. Aku bukan putri keraton kok.”
Si Mbok hanya mesem-mesem saja seraya mengangguk patuh.
Samara segera memasuki rumah yang pintunya bersebelahan dengan ruang makan dan dapur. Mengingat ucapan si Mbok, rumah ini kental akan nuansa Jawa yang kuno. Mulai dari perabotan, pajangan-pajangan antik, semuanya menggambarkan rumah adat Jawa.
Semasa taman kanak-kanak, Samara pernah tinggal di rumah tua ini. Baru setahun belakangan, Samara dan ibunya kembali tinggal di kampung halaman. Sebelumnya ia menempuh masa pendidikan sampai kuliah di Jakarta. Mbok Miyem yang diamanahkan menjaga rumah di sini.
Ketika ia berada di sini, terkadang rasanya bagai lintas waktu ke masa lalu. Nuansa mistis juga terasa menyelimuti arsitekturalnya yang kuno. Ibunya memang menyenangi segala hal yang bernuansa Jawa kuno. Mbok Miyem yang merawatnya sedari kecil pun sudah tak asing dengan pemandangan di rumah ini.
Bahkan Mbok Miyem yang sehari-harinya memakai kemben—seolah sedang mengabdi pada putri-putri keraton. Tak bosannya si Mbok memanggil ibunya yang bernama lengkap Larasati Kusuma Wijaya itu dengan panggilan akrab; Gusti Laras.