Kembang Sukmo

Keefe R.D
Chapter #3

Bab 2. Surat Misterius

Pada malam-malam Jumat Kliwon, Samara sudah hafal; ibunya pasti khusyuk bersemedi dalam ruang redup. Sesajen bunga dan dupa siap tersedia di atas meja altar. Kegiatan tersebut dilakukan tiap mendekati tengah malam.

Samara ingat ibunya pernah memberitahu; pada malam-malam itu, energi di alam semesta sedang kuat. Entah apapun makna dibalik ucapan tersebut, Samara tetap tak menyukai kegiatan ibunya. Masih sulit ia bisa membujuk ibunya untuk menyudahi ritual.

Malam itu, Samara hanya bisa mengintip dari balik pilar tembok. Bibirnya mengerucut murung. Dalam hatinya merasa kesepian. Ia amat merindukan kedekatan dirinya dengan sang ibunda. Ia rindu masa-masa mereka selalu menghabiskan waktu bersama. Mulai dari makan berdua, menonton film horror tengah malam, sampai membicarakan hal-hal paling absurd tentang banyak fenomena dunia. Ia sungguh merindukan masa-masa hangat saat itu.

Apa pun bisikan alam yang tiba-tiba mempengaruhi ibunya, telah merenggut jiwa sang ibunda juga. Walau bisa melihat ibunya tiap hari di rumah, Samara seakan sudah merasa kehilangan sosoknya.

Setidaknya ia masih beruntung bisa melihat raga ibunya. Ia tak bisa membayangkan jika harus kehilangan jiwa dan raga sang ibunda sekaligus. Ia merasa belum siap untuk ditinggal olehnya. Hidup dibesarkan oleh ibu, membuat Samara serba ketergantungan dengannya. Kasih sayang ibu memang sepanjang masa.

Semenjak ibunya sering bersemedi dan mengabaikan keberadaannya, Samara berusaha mencari kesibukan sendiri. Dari koran ke koran lain, sampai kolom artikel di internet dicari untuk menemukan info lowongan pekerjaan. Namun tak satu pun ia merasa cocok.

Lulus dengan predikat sangat baik, seharusnya tak membuatnya gentar mencari pekerjaan baru. Karena bukan pencarian yang jadi masalahnya, Samara mengutamakan kenyamanan. Ia tak mau bekerja dibawah tekanan pimpinan perusahaan. Rasanya menjadi budak korporat bukan panggilan jiwanya. Ia ingin menjalani sesuatu yang tak jauh dari usaha bisnis ibunya. Mungkin menjadi pengerajin atau seniman akan cocok baginya.

Mengambil jurusan sastra Bahasa Indonesia membuatnya ingin menggeluti dunia tulis menulis. Mungkin ia bisa juga meneruskan karya-karya ayahnya nanti. Terlahir dari keluarga berada tak membuat Samara memusingkan masalah penghasilan. Semuanya serba disediakan ibunya. Usianya juga masih belia untuk mencari jati diri. Ia bisa jadi apa saja yang ia mau nanti.

Lagi pula, ia menantikan janji ibunya yang mau memperkenalkan bisnis batik dan jajanan Sendang Laras. Ia hanya perlu sabar menunggu ibunya siap. Namun mau sampai kapan sang ibunda mengabaikan dirinya?

Usai ibunya bersemedi sejam kemudian, mereka bertemu di ruang makan. Tiba-tiba beliau memberitahu, “Samara, besok Ibu harus pergi ke Bali ya.”

“Loh, mau ngapain, Bu?” tanyanya, heran. “Samara boleh ikut?”

“Kamu di sini saja, temenin Mbok Miyem jaga rumah. Takutnya nanti kalau ada tamu datang, kamu bisa temui dulu,” ujarnya.

Samara mengernyit, penasaran. “Memangnya bakal ada tamu?”

Ibunya tersenyum lembut seraya meremas bahunya dan berkata, “Ya, belum tentu sih. Takutnya ada yang berkepentingan, Ibu lagi enggak ada di rumah.”

Samara mendesah dan balas berkata, “Kalau begitu, aku ikut Ibu saja deh. Nanti juga Mbok Miyem yang ngurus kalau memang ada tamu. Kan tinggal bilang; Ibu lagi pergi.”

Ibunya mengangguk, namun tetap menolaknya, “Kamu di rumah saja ya, Nak. Ibu enggak bakal lama kok di Bali. Ada orang yang mau beli batiknya Sendang Laras.”

Samara mendebatnya, “Kenapa enggak dikirim paket saja? Atau suruh orangnya datang ke toko Ibu langsung di Solo?”

Gusti Laras menghembuskan nafas panjang dan berujar, “Ndak etis, Nak. Soalnya orangnya mau sekalian nyambung bisnis sama Ibu. Dia punya usaha lukisan, sebagian besar koleksinya ada di Bali. Jadi mendingan Ibu yang ke sana. Siapa tahu beliau bisa berkolaborasi dengan Sendang Laras.”

“Ya sudah kalau begitu,” ucap Samara, pasrah.

“Besok pagi-pagi Ibu sudah siap berangkat. Kamu jangan bangun kesiangan,” Ibunya mengingatkan, suaranya begitu syahdu.

Samara mengangguk patuh sebelum mereka kembali ke kamar tidur masing-masing.

***

Alarm handphone berbunyi nyaring di sebelah Samara yang masih tertidur pulas. Sampai akhirnya ia terbangun, mengucek mata sejenak. Ketika tersadar sudah lewat jam delapan pagi, jantungnya berdegup kencang. Seketika ia melesat panik dari atas kasurnya. Ia baru teringat Ibunya akan berangkat ke bandara pagi-pagi hari.

Beberapa detik ia memeriksa wajah polosnya di cermin. Rambut panjang bergelombangnya masih semerawut. Tak ada waktu untuk bersolek lama. Segera ia berlari keluar dari kamar tidurnya.

“IBU!” Ia berteriak-teriak memanggil sang ibunda.

Di dalam kamar ibunya kosong. Lampu sudah dimatikan, kasur juga nampak rapi. Ketika Mbok Miyem juga tak terlihat di dalam rumah, ia semakin panik. Ia tak mau sampai terlewat mengucapkan salam perpisahan. Malahan ia sudah berencana ingin mengantar ibunya sampai ke bandara.

Lihat selengkapnya