Mbok Miyem tergopoh-gopoh mendatangi Samara yang tengah berdiri di depan pintu kamar. Samara bertanya sambil menunjukkan secarik surat yang digenggamnya, “Mbok, kenal dengan pengirim surat ini? Pak Soeprapto siapa, ya?”
Sambil menenangkan buru nafasnya, si Mbok mencoba mengingat-ingat nama tersebut. “Pak Soeprapto? Siapa, ya, Ndoro?”
Samara mendesah kesal. “Loh, kok malah balik nanya sih, Mbok? Makanya aku nanya, karena enggak tahu siapa bapak-bapak yang nulis surat ini buat aku.”
Si Mbok menggaruk-garuk rambut cepol berubannya. Lalu ia bertanya, “Ngapunten, kalau boleh tahu isi suratnya apa, nggih, Ndoro?”
“Katanya sih sahabatnya mendiang Ayah dan kenal baik dengan Ibu juga,” tutur Samara sambil sesekali mengintip kertas surat persegi panjang itu. “Cuma yang aku bingung—”
Samara berhenti sejenak memandang si Mbok. Mereka saling balas bertatapan.
“Kok bisa Pak Soeprapto ini nyebut nama ibuku seperti Mbok?” ujarnya, heran. “Di sini beliau menuliskan; Gusti Larasati. Dan di akhir tulisan ada salam hormat—”
Samara segera menunjukkan tulisan bercetak miring dalam surat itu. Si Mbok langsung memincingkan mata berkeriputnya.
GRAy. Larasati Kusuma Wijaya.
Si Mbok berkedip cepat, nampak bingung usai membacanya sekilas.
“Bukannya Mbok cuma iseng aja ya manggil ibuku Gusti? Begitu juga saat Mbok manggil aku Ndoro?” tambah Samara, merenungkannya. “Mbok kan memang punya selera humor yang receh—”
Bibir kering si Mbok beberapa kali terbuka tertutup seperti sedang dilema. Ada yang hendak dikatakan, namun si Mbok mengurungkan niatnya.
“Tapi kenapa ada orang di luar sana yang manggil Ibu sebagai Gusti juga, ya?” Samara mempertanyakannya. “Gray Larasati, itu nama gelar orang ningrat, kan?”
“Sing benar dalam penyebutan nama gelar mestinya; Gusti Raden Ayu. Kalau Gray, yo boso Inggris, toh, Ndoro? Artinya abu-abu—”
Samara mengecap lidah, melirik si Mbok kesal. “Ih, yang serius dong, Mbok. Jadi intinya kenal enggak sama orang yang namanya Pak Soeprapto ini?”
Si Mbok menggeleng. “Ndak kenal si Mbok.”
“Namanya cuma Soeprapto doang. Enggak ada nama belakang,” gerutu Samara sambil membolak-balikkan kertas surat itu. “Suratnya dikirim dari Surabaya—”
“Mungkin Pak Soeprapto ini berteman dengan orang tua Ndoro,” ujar si Mbok.
“Kalau yang tertulis di surat sih, pengakuannya begitu,” gumamnya sambil menyilangkan tangan langsingnya. “Nanti aku telpon Ibu saja. Aku tanyakan langsung.”
Ketika sudah tak ada yang ingin ditanyakan, si Mbok hendak kembali ke dapur. Baru selangkah masuk ke kamar, Samara baru teringat ada satu lagi yang ingin ditanyakannya. “Mbok! Tunggu dulu!”
Si Mbok menengok padanya. Segera saja menghampirinya dengan patuh.
“Pak Soeprapto ini bilang mau datang ke rumah. Belum tahu kapannya. Katanya sih mau mengembalikan keris punyanya keluarga Kusuma Wijaya,” tuturnya.
Si Mbok spontan membuka matanya lebar. “Keris?”
Samara mengangguk. “Nama belakang Ibu kan memang Kusuma Wijaya. Tapi aku enggak pernah dengar kalau keluarganya Ibu orang-orang bangsawan, iya, kan, Mbok?”
Si Mbok menggaruk-garuk kepalanya lagi. Bibirnya bergetar saat hendak menjawab, “Oh… ya, coba ditanyakan dulu ke Gusti Laras. Apa benar ada orang yang mau datang ke rumah mengembalikan keris?”