Sepulangnya ke rumah, Samara mencoba menghubungi nomer handphone ibunya kembali. Pada dering kelima, panggilan telepon akhirnya diterima. Ia lega sekali bisa mendengar suara ibunya lagi.
“Samara, apa kabar kamu di sana?” tanya ibunya, suaranya khas wanita Solo yang lembut dan anggun.
“Di sini baik, Bu, alhamdulillah,” ujar Samara. “Ibu bagaimana di sana?”
Suara motor dan mobil terdengar bising di latar, ibunya lanjut berbicara, “Ibu lagi dalam perjalanan ketemu orang yang mau nyambung bisnis dengan Sendang Laras.”
“Oh, orang yang jualan lukisan di Bali, ya, Bu?” tanyanya, sekedar mau memastikan.
“Iya, dia punya toko di Bali. Ibu ditawari beli per paket, harganya lebih murah dari pada beli satuan. Nantinya Ibu berencana pajang semua lukisannya di toko Sendang Laras,” ujarnya. “Sebenarnya dia masih bersaudara jauh sama Ibu.”
Lantas ia menggerutu, “Samara saja belum pernah Ibu bawa ke Sendang Laras. Padahal sudah setahun tinggal di Solo. Apalagi dikenalin sama saudara-saudara Ibu langsung.”
“Nanti setelah Ibu pulang, kita bisa jalan-jalan bersama,” gumam ibunya, memberikan harapan.
Samara tersenyum lebar. Saat itulah ia teringat surat misterius yang diterimanya pagi ini. Secepatnya ia ingin menanyakan, “Oh, iya, Bu, tadi pagi ada—”
“Sudah dulu ya, Sam,” potong ibunya, terdengar buru-buru. “Ibu sudah mau sampai di lokasi pertemuan, nanti kita bisa telponan lagi.”
“Oh, ya sudah—” gumamnya pasrah. “Hati-hati di jalan ya, Bu.”
Padahal ia sangat ingin mengonfirmasi; apakah sang ibunda mengenal Pak Soeprapto? Sayang, ibunya terburu-buru menutup telepon. Rasa penasarannya pun harus ditunda sampai nanti bisa menghubungi ibunya lagi.
Menjelang langit gelap, sambil menunggu adzan maghrib, Samara berselonjor di atas kasur kamarnya. Ia membuka buku yang baru dibelinya tadi di acara book signing.
Sebelum ia merobek plastik buku, sejenak ia mengamati cover buku biru tersebut. Ada gambar pegunungan dan bola dunia. Nama sang penulis terpampang jelas di bagian bawah cover, sekali lagi dibacanya, “Nathan Woroyo—”
Setelah membuka bungkusan plastiknya, ia langsung membuka lembaran paling akhir. Ia ingin mengintip sedikit latar belakang si penulis. Nathan lulusan diploma Sejarah di Australia. Ternyata masih seumuran dengannya. Tahun lulus kuliahnya pun sama. Sekilas info pada halaman si penulis membeberkan; Nathan sering melakukan pendakian dan penulusuran ke berbagai wilayah di Indonesia. Dalam buku yang ditulisnya pertama kali itu, ia lebih banyak mengisahkan pengalaman manis pahitnya di kawasan Mistis Rimak. Samara belum pernah mendengar nama tempat tersebut. Dari info di bukunya, tempat di Kalimantan Barat itu banyak menyimpan misteri.
Samara segera membuka acak lembaran bukunya. Ia menemukan beberapa footnote yang menyematkan nama ayahnya. Salah satu buku ayahnya yang sering dijadikan acuan si penulis berjudul; Sejarah Budaya yang Terlupakan. Bukan judul yang menarik, bahkan mungkin banyak orang yang tak mengenal buku sang ayah. Cover bukunya saja nampak amat jadul untuk selera orang jaman sekarang. Mungkin bagi para sesepuh sejarawan dan budayawan di Solo, tulisan Bung Pierre Utomo masih banyak dikenang. Ia tak menyangka, pemuda seusia dirinya seperti Nathan berminat dengan karya ayahnya.
Belum selesai membaca buku, Samara sudah menguap beberapa kali. Karena keburu mengantuk, ia menutup bukunya.
Tiba-tiba suara ketukan di pintu kamarnya terdengar. Si Mbok setengah mengintip di ambang pintu seraya menyeru, “Ndoro, jangan tidur kalau menjelang maghrib! Ndak bagus!”
“Aduh, Mbok, lima menit doang kok,” gerutunya seraya bersembunyi dibawah bantal.
“Mbok sudah panaskan semur ayamnya untuk makan malam, nggih,” sahutnya.
Ketika adzan sudah terdengar, Samara akhirnya beranjak dari kasur. Walau rasa ngantuk masih kuat menganggunya, ia tetap sembahyang tepat waktu.
Sejam kemudian, Samara lanjut makan malam. Saat itu ia mendapat pesan singkat.
Ibu:
Sam, Ibu rencana menginap 2 hari saja di Bali. Paling hari senin malam pulangnya.
Sudut bibirnya terangkat. Ia amat senang membaca pesan dari ibunya. Itu berarti rencana jalan-jalan bersama sang ibunda akan segera terlaksana. Ia hanya harus bersabar menunggu waktu kepulangan ibunya ke Solo.
***