Kembar dari Hongkong

Rahma Nanda Sri Wahyuni
Chapter #1

Jelek Boleh, Gila Jangan!

Satu kali dua puluh empat jam, silakan ajak aku berbicara, tapi jangan sekarang. Sekarang aku tidak boleh berbicara. Eh, tapi ini bukannya aku sedang berbicara dengan kalian ya? Oh! Enggak apa-apa. Kalau ini, aku bicaranya dalam hati. Enggak masalah. Walau satu rumah sudah tahu aturan dasar ini, jika aku tidak boleh berbicara, namun faktanya, ada saja satu dua hal yang harus membuat aku angkat bicara. Darimana aku tahu? Karena derap langkah itu jelas menuju ke arahku.

Tap! Tap! Tap!

"Mon! Moni! Dimana kunci mobil kakak tadi kamu letak?"

Oke! Suara teridentifikasi. Itu jelas suara Kak Gegas, kakak baik hati, tidak sombong, rajin menabung dan ramah tamah terhadap semua orang satu kompleks. Sayangnya seperti namanya, Gegas. Kakakku yang satu ini memang orang yang sukanya bergegas alias terburu-buru. Apa-apa, maunya serba cepat. Padahal jelas, saat ini aku tidak bisa menjawab pertanyaannya. Aku harus fokus dan tidak boleh membuat gerakan bodoh sedikitpun.

"Moni! Sejak kapan jadi budek? Makanya jangan kebanyakan makan daging pantat ayam."

Apa hubungan antara budek dengan daging pantat ayam? Dan kapan aku makan pantat ayam? Terakhir aku makan ayam tadi siang. Tapi apa aku makan bagian pantatnya? Ah! Enggak ingat. Aku bisa merasakan jika Kak Gegas mendekat ke arahku. Saat ini dia pasti sedang melambai-lambai tangannya persis di depan wajahku. Meskipun mataku tertutup, aku bisa merasakan gerakan tangannya.

"Ih! Amisnya minta ampun! Luh maskeran pakai apaan sih Monny? Telur ayam apa telur buaya? Amisnya minta ampun! Enggak ketulungan amisnya woi!"

Aku menarik napas dalam-dalam berusaha untuk tetap tenang. Jangan sampai aku tergoda untuk membuat gerakan bodoh. Bahaya. Nanti masker telur bebekku ini bisa retak. Jadi lebih baik aku tetap tenang dan abaikan suara Kak Gegas.

"Moni! Buruan kasih tahu dimana kuncinya. Kakak harus jemput mama pulang arisan. Udah sore ini. Nanti kalau kakak telat jemput mama, bahaya. Bisa-bisa mama pulang naik taksi online. Terus abis itu kita semua bakal dikutuk jadi batu. Mau?"

Tanpa gerakan berarti, aku menunjuk ke satu arah. Aku menunjuk ke arah atas meja sebelah bunga. Dan setelahnya terdengar suara tangan Kak Gegas meraba-raba. Pasti dia sedang mencari kunci mobilnya.

"Enggak ada loh Moni! Dimana kuncinya?"

"Cari apa sih Kak?"

Suara lembut itu terdengar. Pemilik suara itu namanya Mona, saudara kembarku. Gadis cantik nan ayu yang sempurna. Dengan IQ di atas rata-rata, Mona pasti bisa segera mengerti situasinya sekarang.

"Cari kunci mobil kakak. Tadi terakhir, si Moni ini yang mindahin pas dia bersih-bersih. Tapi sekarang lihat sendiri. Moni lagi begini, lagi cosplay jadi mumi."

"Oh! Mona bantu ya Kak carinya."

Lega hatiku. Setidaknya kunci itu akan segera ketemu jika Mona yang mencarikannya. Mona selalu begitu, bisa menyelesaikan masalah tanpa masalah, berbeda dengan aku yang menambah masalah dengan masalah. Sayangnya dugaanku salah. Saudara kembarku itu juga tidak tahu dimana letak kunci mobilnya. Lalu datang lagi suara langkah kaki. Aku hapal langkah kaki ini, ini langkah kaki Kak Alpin. Langkahnya seperti terserat-seret malas.

Sreet! Sreet!

"Pin! Pin! Ada lihat kunci mobil kakak?" tanya Kak Gegas.

"Tunggu ya Kak! Alpin terawang dulu pakai indera kedalapan Alpin."

"Halah kelamaan Pin! Buruan!"

Aku tidak tahu apa yang dilakukan Kak Alpin sekarang. Dia adalah kakakku nomor dua yang jalan pikirannya memang susah ditebak. Tapi aku mengerti, jika Kak Alpin sudah mengatakan ingin mengeluarkan indera ke delapannya, itu artinya dia akan meletakkan kedua jari telunjuknya di atas kening. Lalu pura-pura memasang wajah berkonsentrasi, seolah dia sedang menerawang. Kalau ada jurusan ilmu perdukunan dan cenayang, pasti Kak Alpin akan memilih masuk jurusan itu ketimbang masuk jurusan ilmu politik seperti sekarang dan bercita-cita jadi anggota dewan.

Lihat selengkapnya