"Lah emang kenapa kalau Mona suka sama Kai? Kalau Kakak jadi Mona, Kakak juga pasti akan suka sama Kai. Dia sempurna. Ya walaupun lebih sempurna Kakak sih kemana-mana."
Kak Alpin berkata sambil memainkan cacing tanah yang ada di tangannya. Sebenarnya aku jauh lebih suka kalau Kak Alpin bercita-cita jadi peternak cacing daripada bermimpi jadi anggota dewan.
"Jangan. Jangan sampai Mona suka sama Kai."
"Lah, kok kamu yang ngatur Moni? Terserah Mona dia suka sama siapa."
"Moni suka sama Kai, masa Mona juga suka sama Kai? Masa kami saingan?"
Kak Alpin melihat ke arahku. Ia lalu menaikkan kedua bahunya.
"Kakak bohong, kan? Mona enggak suka sama Kai, kan?"
Kak Alpin tidak menjawab. Jadi, aku hanya bisa memperhatikan tingkah Kak Alpin, sampai papa datang menepuk pundakku dari belakang.
"Moni, papa punya koleksi bunga baru. Anggrek. Cantik. Warna ungu."
Tiba-tiba ada papa yang memotong obrolanku dan Kak Alpin. Papa menarik tanganku lalu menunjukkan sebuah bunga anggrek yang ada di dalam pot. Anggrek itu memang cantik, kelopaknya merekah. Manis sekali.
"Papa baru beli?" tanyaku.
"Iya."
"Wah, cantik sekali anggreknya, seperti Mona," puji Kak Alpin.
"Seperti Mona?" tanyaku memastikan.
"Iya. Ah, masa kamu gitu aja enggak tahu Moni. Perempuan itu, diibaratkan seperti bunga. Sementara laki-laki itu kumbangnya."
"Di fakultas politik diajari gitu ya?"
"Ya enggaklah Mon. Itu pengetahuan dasar. Setahu papa juga gitu. Mama kamu adalah bunga. Ibarat bunga, mama kamu itu adalah bunga mawar. Cantik, merah, merekah, tapi jangan main-main sama dia. Berani menyentuhnya, dia akan melukai dengan durinya. Itu keren sekali." Mata papa terlihat seperti berbinar. Melihat papa masih bucin alias jadi budak cinta sampai saat ini, aku cukup merasa senang.
Aku mengangguk mendengar semua penjelasan papa. Kalau dipikir-pikir karakter mama memang sama seperti bunga mawar. Mama cantik, tapi juga berbahaya. Jangan berani ganggu atau usik mama, mama bisa berubah jadi monster. Satu rumah ini mana ada yang berani sama mama.
"Oke, Moni ngerti sekarang. Kalau Mama ibarat bunga mawar, okelah aku paham. Terus kenapa Kak Alpin bilang kalau Mona itu ibarat bunga anggrek?"
"Oh, kalau itu gampang. Papa ngerti. Mona itu cantik, dia seperti anggrek bulan ini. Kamu tahu? Anggrek bulan ini, banyak sekali yang suka. Sama seperti Mona, banyak sekali yang suka. Ulang tahun Mona masih beberapa hari lagi, tapi Mona sudah banyak dapat kiriman cokelat hari ini. Sama seperti anggrek bulan, banyak yang suka." Papa berkata sambil menatap ke arah anggrek bulan itu. Tatapan mata Papa seolah-olah anggrek itu sangat berarti.
"Kalau Mama ibarat mawar, terus Mona ibarat anggrek, terus Moni ibarat bunga apa?"
Senyap. Papa dan Kak Alpin malah saling tatap. Mereka tidak berkata apa-apa. Otak dua laki-laki ini seolah berputar mencari jawaban. Papa lalu mengerutkan dahinya dan pandangan matanya mengitari kebun bunga mini kami. Kebun bunga yang sengaja diletakkan di bagian teras depan. Di atas bagian kebun ini sebagian areanya ditutupi oleh kanopi balkon lantai dua kamarku.