Kembar dari Hongkong

Rahma Nanda Sri Wahyuni
Chapter #3

Bodat dan si Biang Rusuh

Cuaca sedang buruk-buruknya. Hatiku juga. Hujan deras dan angin cukup kencang membuat dahan-dahan pohon di sekitar halaman sekolahku bergoyang, bahkan petir menyambar-nyambar. Sementara aku? Aku di sini menatap semuanya dari balik jendela kaca kelasku yang ada di lantai dua.

"Udahlah Mon! Apa-apa itu jangan dimasukin ke dalam hati." Amel berkata sambil memasang tasnya di punggung. Jam pulang sekolah begini biasanya aku senang, cepat-cepat ingin pulang ke rumah. Kenapa? Satu karena lapar, kedua karena aku mau tidur siang. Seorang Moni sangat suka makan dan tidur siang. Sayangnya siang ini beda. Perasaanku berantakan. Sampai kelas sudah kosong sekalipun, aku tetap masih betah di sini, memandang hujan deras.

Mona bahkan sudah lebih dulu turun ke lantai bawah bergabung dengan teman-teman OSIS-nya. Kalau di sekolah memang selalu begitu, Mona sibuk dengan dunianya dan aku juga biasanya hanya menyendiri. Kalaupun ada yang membersamaiku di sekolah, palinglah hanya Amel seorang. Jalur hidupku dan Mona di sekolah ini jelas berbeda.

"Kamu marah karena kamu dibilang jelek seperti bodat?" Amel bertanya dan duduk di sebelahku.

Amel teman dekatku itu masih setia menemani. Di kelas XI IPA 2. Sejak dari awal aku masuk ke kelas ini, hanya Amel yang mau dekat padaku. Sisanya hanya teman biasa. Mereka enggan dekat denganku, tidak tahu apa alasannya. Mungkin alasannya bisa jadi karena memang aku yang sulit berteman.

Sebenarnya, akupun heran kenapa Amel bisa cepat akrab denganku, mungkin karena kami sama, sama-sama jelek. Amel kulitnya juga cokelat kehitaman seperti kulitku dan rambutnya juga keriting. Paslah sudah, kami hitam dan keriting, seperti gosong habis tersambar petir. Sebenarnya Amel ini lebih cocok jadi saudara kembarku daripada Mona. Orang-orang pasti akan lebih percaya kalau Amel yang jadi saudara kembarku.

"Emang aku sejelek itu? Sejelek monyet?" Aku bertanya pada Amel dengan wajah serius tanpa memalingkan wajahku ke arahnya.

"Kamu itu enggak jelek kok Mon. Cuman enggak cantik aja."

Aku menepuk jidatku. Apa bedanya jelek dengan tidak cantik, heh? Amel tidak membantuku memulihkan kondisi hatiku. Jika saja Binsar tidak mengatakannya di depan umum, pasti aku tidak akan sesedih ini. Ah, seandainya itu hanya bercanda, tetap saja membuat hatiku sedih.

"Aku harus berubah," kataku mantap.

"Berubah?"

Lihat selengkapnya