"Adel, sini sayang. Ibu membuatkan makanan kesukaanmu,"
"Adel, bagaimana sekolahmu tadi?"
"Adel, bagaimana perasaanmu sekarang?"
"Adel, apa yang sedang kau lamunkan?"
"Adel, maukah kamu mendengar sebuah cerita?
"Adel, jadilah anak yang baik,"
"Adel, jangan lupa berdoa ya,"
Kalimat-kalimat itu terus menghantui pikiranku. Bagaimana tidak? Setiap malam, setiap musim dingin di negeri asing ini datang mencekam. Setiap hatiku mendidih layaknya masuk dalam panci penggorengan milik Mang Iwan, penjaja gorengan Tenda Biru di samping Sekolah Menengah Pertamaku dulu.
Hatiku terus bergetar. Gejolaknya menggelegak di dinding pembuluh darahku, muntab di aorta, dan menghantam ruang jantungku. Sebelum akhirnya muncul di permukaan berupa air mata yang kembali menggenang. Kesendirian ini begitu menyedihkan buatku. Mungkin aku harus menelepon Alanza untuk menghiburku atau dia malah memberikan banyak nasihat yang akan membuatku buncah lagi dengan kecamuk lahir batin.
Hanya liburan musim panas yang akan membuatku lega sejenak. Karena penantianku yang lama akan dibayar lunas dengan kunjungan ke makam Ibu. Ayah mungkin tidak akan sempat. Dan itu bukan masalah bagiku. Lagipula aku bebas dan bisa memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Kalau perlu seharian di makam atau berjalan-jalan di kebun teh. Bernostalgia dengan kenangan lama.