Bencana saat itu, Rabi'ah dan ketiga saudara perempuannya memutuskan untuk berkelana ke berbagai daerah untuk bertahan hidup. Dalam pengembaraan Rabi'ah terpisah dari ketiga saudara-saudara perempuannya sehingga Rabi’ah hidup seorang diri. Dalam keadaan tersebut Rabi’ah jatuh ketangan perampok dan Rabi’ah dijual sebagai hamba sahaya seharga 6000 Dirham.
Setelah dijual perampok seharga 6000 Dirham, Rabi’ah al-Adawiyah menjalani hari-harinya sebagai budak dikeluarga yang berasal dari kaum Mawali al-Atik, kaum tersebut masih ada hubungannya dengan Bani Adwa dan nama lengkap yang dipakainya adalah nama umum yang dipakai pada saat itu. Al- Atik berasal dari suku Qais, dari sinilah suku tersebut dikenal dengan al-Qaisiyah atau al-Adawiyah.
Rabi’ah al-Adawiyah dibeli oleh orang yang sangat kejam dan bengis, walaupun Rabi’ah seorang wanita. Rabi’ah diperlakukan dengan sangat kejam pula oleh tuannya. Namun Rabi’ah menjalani hidupnya dengan cinta, ia tidak pernah sekalipun mengeluh apalagi sampai berputus asa terhadap kehidupannya. Siang hari ia bekerja membanting tulang mengerjakan semua pekerjaan yang dibebankan oleh tuannya/majikannya kepadanya. Malam harinya ia habiskan dengan beribadah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Pada suatu hari ketika Rabi’ah berjalan-jalan, ada seorang yang tak ia kenal datang menghampirinya. Rabi’ah mencoba untuk melarikan diri tiba-tiba ia jatuh tergelincir sehingga tangannya terkilir. Rabi’ah menangis sambil menundukkan mukanya ketanah, lalu Rabi’ah bermunajat kepada Allah:
Ya Allah,
Aku adalah orang asing di negeri ini yang tidak memiliki ayah serta bunda, Seorang tawanan yang tak berdaya sedang tangan-ku cedera
Namun semua itu, tidak membuat aku bersedih hati satu-satunya yang kuharapkan adalah dapat memenuhi kehendak-Mu dan mengetahui apakah Engkau berkenan atau tidak.
Kemudian Rabi’ah terdengarlah suara yang berucap ke- padanya:
Rabi’ah, janganlah engkau berduka sebab esok lusa engkau akan dimuliakan sehingga para malaikat iri kepada-mu.
Ujian-ujian yang dialami membuat Rabi’ah semakin dekat dengan Tuhan. Suatu malam, seorang majikannya terjaga dari tidur dan melalui jendela melihat Rabi’ah sedang sujud dan berdo’a kepada Allah:
Ya Allah,
Engkau bahwa hasrat hati-ku Adalah untuk mematuhi perintah-Mu Jika aku dapat merubah nasib-ku ini
niscaya aku tidak akan istirahat barang sedikit pun
dari mengabdi kepada-Mu
Ketika Rabi'ah sedang berdo’a dan melakukan shalat malam. Pada saat itu majikannya melihat dan dikejutkan oleh sebuah cahaya atau lentera yang bergantung di atas kepala Rabi'ah tanpa ada sehelai tali pun. Cahaya tersebut bagaikan lentera yang menyinari seluruh rumah dan merupakan cahaya sakinah.
Melihat peristiwa tidak biasa yang terjadi pada Rabi'ah. Pagi-pagi sekali majikannya memanggil Rabi’ah dengan sikap lemah lembut, keesokan harinya Rabi'ah dibebaskan oleh majikannya. Sebelum Rabi'ah pergi majikannya menawarkan Rabi'ah untuk tinggal di Kota Basrah dan majikannya akan menanggung segala keperluan dan kebutuhan Rabi'ah. Rabi'ah menolak dan sesuai janjinya jika ia bebas, maka Rabi'ah akan mengabdikan hidupnya hanya untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Setelah bebas sebagai budak Rabi'ah pergi mengembara di Padang Pasir. Di Padang Pasir ia menemukan tempat tinggal, ditempat itulah Rabi’ah menghabiskan seluruh waktunya beribadah kepada Allah. Di tempat tinggalnya Rabi'ah hanya tidur sedikit disiang hari dan menghabiskan sepanjang malam untuk bermunajat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.