KEMULIAAN CINTA

Umi Zaenab
Chapter #6

AWAL MULA KESUFIAN RABI'AH AL ADAWIYAH

Sekitar abad hijrah kedua muncul, Irak telah menjadi sebuah pusat kota yang mewah, dan Basrah juga telah menjadi kota yang penuh kemajuan. Di sana terdapat rumah yang disediakan untuk hiburan dan permainan nafsu. Gedung- gedung dan istana-istana telah dipenuhi dengan wanita-wanita lacur, bahkan penyelewengan hidup telah meratai semua lapangan kehidupan dan masyarakat umumnya.

Di samping semua ini, terdapat beberapa golongan dari para mu’minin yang bertakwa, dan orang-orang yang tidak mempunyai apa-apa, mencari jalan mereka untuk mengasingkan diri dan menetap jauh-jauh dari manusia. Di dalam pondok-pondok yang bersebaran di merata kota Basrah itu, tanpa dipandang oleh siapapun. Di sanalah, di dalam sebuah pondok yang kecil, terpisah jauh dari pondok-pondok lainnya, ada seorang fakir yang tidak mempunyai apa-apa menetap di sana. Pekerjaannya menyeberangkan orang atau penumpang di dalam sebuah sampan antara dua tebing Dijlah. Orang ini sangat bertakwa, tersingkir dari sifat duniawi, dan rohaninya penuh dengan keimanan, ia tidak pernah lelah beribadah kepada Allah. Oleh karena itu, ia dikenal sebagai al-Abid, yakni orang yang banyak beribadah. Al-Abid yang dimaksud di sini adalah Ismail yang merupakan seorang ayah dari Rabi’ah.

Kota Basrah yang menjadi kota segala bangsa dan aliran, telah menjadi ajang pertentangan antara satu aliran dengan aliran yang yang lain. Di kota ini terdapat pengikut Khawarij dan pengikut Syi’ah. Jika terjadi pemberontakan atau kerusuhan-kerusuhan antara penduduk kota Basrah, maka sudah dapat dibayangkan penguasa Bani Umayyah tidak akan berpangku tangan membiarkan berkobarnya pertentangan atau pertumpahan darah di antara pengikut-pengikut macam aliran itu. Peristiwa yang menyedihkan ini banyak terjadi pada abad kedua Hijriah. Seolah-olah Allah hendak menghukum manusia yang selalu ingin berbuat onar, dan menimbulkan perpecahan.

Sejak itu kota Basrah mengalami berbagai bencana alam, seperti kekeringan akibat kemarau panjang. Kota yang pada mulanya makmur dan berkembang, sekarang menjadi kota yang dilanda kemiskinan dan bencana alam. Tentu saja yang paling menderita dalam suasana yang serba sulit ini adalah kaum miskin. Rabi’ah dan saudara-saudaranya tidak luput dari penderitaan ini. Hingga pada akhirnya Rabi’ah dan ketiga saudaranya terpaksa meninggalkan rumah mereka dan mulai berkelana ke berbagai daerah untuk mencari hidup. Dalam pengembaraan ini, dikisahkan bahwa Rabi’ah terpisah dari ketiga saudaranya dan tinggalah Rabi’ah seorang diri. Dalam keadaan seperti ini Rabi’ah jatuh ke tangan perampok yang kemudian dijual sebagai hamba sahaya dengan harga enam dirham.

Setelah dijual oleh perampok seharga enam dirham, Rabi’ah menjalani hari-harinya sebagai budak atau hamba sahaya pada suatu keluarga yang berasal dari kaum Mawali Al-Atik, yang masih ada hubungannya dengan Bani Adwa, dan nama lengkap yang dipakainya adalah nama umum yang dipakai pada saat itu. Al- Atik berasal dari suku Qais, dari sinilah ia dikenal dengan Al-Qaisiyah atau Al- Adawiyah.

Tuan yang membeli Rabi’ah memberlakukannya dengan kejam dan bengis, tanpa pandang bulu, bahkan kepada wanita yatim piatu seperti Rabi’ah. Orang yang pernah jatuh ke tangannya jarang berhasil melepaskan dirinya, ibarat tikus telah berada di bawah cengkraman cakar-cakar kucing yang tajam. Namun Rabi’ah menghadapi semua cobaan itu dengan segala kekuatan imannya. Kekejaman majikannya tidak menjadikan Rabi’ah putus asa, akan tetapi semakin memperkokoh imannya. Ia mengisi hari-harinya dengan berbagai macam kesibukan. Jika pada siang hari ia harus bekerja membanting tulang melakukan berbagai macam pekerjaan yang dibebankan tuannya kepadanya, maka pada malam hari ia mengisi waktunya dengan beribadah kepada Allah. Ia selalu berdoa kepada Allah dan memohon ampunan serta ridho-Nya. Tidak jarang, dalam doanya ia seolah-olah berbicara langsung dengan Allah sambil air matanya bercucuran. Dalam doanya kepada Allah, Rabi’ah selalu mencurahkan isi hatinya yang sedang bergejolak: “Oh Tuhanku, aku seorang anak yatim yang teraniaya. Aku terbelenggu dalam perbudakan. Namun aku akan sabar dan rela menanggung penderitaan yang sedang menimpaku. Namun demikian, aku tidak kuasa menahan penderitaan yang lebih hebat yang sedang mengganggu perasaan hatiku karena aku masih bertanya-tanya dan masih belum mendapatkan jawaban nya : 'Apakah Engkau ridho akan aku ?' Sejak saat itu Rabi'ah terus

berusaha meningkatkan keimanannya, sehingga ia tidak memperdulikan segala penderitaan yang sedang ia hadapi. Ia bagaikan seorang wanita yang sedang mengarungi alam rohani yang amat luas untuk mencari ampunan dan ridho Allah.

Suatu hari, seorang asing datang kepadanya dan melihat Rabi’ah sedang tidak memakai cadar. Lalu laki-laki itu mendekatinya. Rabi’ah meronta-ronta dan menarik dirinya hingga ia terpeleset dan jatuh. Mukanya tersungkur di pasir panas sambil berkata, “Ya Allah, aku adalah seorang musafir tanpa ayah dan ibu, seorang yatim piatu dan budak. Aku telah terjatuh dan terluka, meskipun demikian aku tidak bersedih hati oleh kejadian ini, aku hanya ingin ridho-Mu dan aku sangat ingin mengetahui apakah Engkau ridho terhadapku atau tidak.” Setelah itu ia mendengar suara yang mengatakan, “Janganlah bersedih, sebab pada saat Hari Perhitungan nanti derajatmu akan sama dengan orang-orang terdekat dengan Allah di dalam surga.”

Musibah yang tiada henti semakin mendekatkannya pada Ilahi. Pada suatu malam tuannya terbangun dan mendengar suara rintihan. Dari celah-celah kamar ia mengintip apa yang dilakukan Rabi’ah. Ia tertegun melihat Rabi’ah sedang bersujud seraya berdo’a, “Ya Tuhanku, Engkau tahu bahwa hatiku selalu mendambakan-Mu dan benar-benar tunduk pada perintah-Mu. Cahaya mataku mengabdi pada kerajaan-Mu, jika itu terserah pada-Mu, aku tak akan berhenti menyembah-Mu barang sesaat pun. Namun Engkau telah membuatku tunduk

kepada seorang makhluk, oleh karena itu aku terlambat datang dalam beribadah kepada-Mu.”

Dengan mata kepalanya sendiri tuannya menyaksikan betapa sebuah lentera tanpa rantai tergantung di atas kepala Rabi’ah, sedangkan cahayanya menyinari seluruh rumah. Setelah melihat peristiwa tersebut, ia merasa takut dan beranjak ke kamar tidurnya, lalu duduk merenung hingga fajar tiba. Esok paginya ia memanggil Rabi’ah dengan suara lembut dan membebaskannya serta mempersilahkan andai Rabi’ah masih mau tetap tinggal bersamanya. Rabi’ah memilih untuk meninggalkan rumah tuannya.

Lihat selengkapnya