Cinta yang mengatasi hawa nafsu yang rendah, cinta yang dilandasi oleh rasa iman yang tulus dan ikhlas, sehingga mampu mengangkat harkat dan martabat manusia menuju Allah. Sikap dan pandangan Rabi’ah tentang cinta dapat dipahami dari kata-katanya, baik yang langsung maupun yang disandarkan kepadanya. Al-Qusyairi meriwayatkan bahwa ketika bermunajat, Rabi’ah menyatakan doanya, “Tuhanku, akankah Kau bakar kalbu yang mencintai-Mu oleh api neraka?” Tiba-tiba terdengar suara, “Kami tidak akan melakukan itu. Janganlah engkau berburuk sangka kepada Kami.” Dalam beberapa karya Rabi’ah yang berupa puisi, Al-Ghazali mempunyai pendapat tentang makna cinta yang dimaksud oleh Rabi’ah. Adapun dari karya syair Rabi’ah yang berbunyi: (“Aku mencintai-Mu dengan dua cinta, cinta karena diriku dan karena diri-Mu. Cinta karena diriku adalah keadaanku senantiasa mengingat-Mu. Cinta karena diri-Mu adalah keadaan-Mu mengungkapkan tabir sehingga Engkau kulihat. Baik untuk ini maupun untuk itu pujian bukanlah
bagiku. Bagi-Mulah pujian untuk kesemuanya.”)
Dan syairnya (“Kucintai Engkau lantaran aku cinta, dan lantaran Engkau patut untuk dicintai, cintakulah yang membuat rindu kepada-Mu, Demi cinta suci ini, sibakkanlah tabir penutup tatapan sembahku. Janganlah Kau puji aku lantaran itu, bagi-Mulah segala puji dan puji.”), Al-Ghazali mengomentarinya dengan menyatakan, bahwa mungkin yang dimaksud dengan cinta rindu adalah cinta Allah karena kebaikan dan karunia-Nya kepadanya. Dan cinta karena Dia layak dicinta yaitu karena keindahan dan keagungan-Nya yang tersingkap baginya. Atau boleh juga cinta rindu dimaksudkan karena hanya Dialah yang selalu dikenang bukan yang lainnya. Dan cinta karena Dialah yang layak dicinta yaitu karena Allah membuka tabir, sehingga Dia nyata baginya.
Suatu proses yang tidak mudah bagi seorang Rabi’ah adalah ketika ia ingin berjumpa dengan Tuhannya. Dalam bab ini dijelaskan tentang langkah- langkah yang ditempuh oleh Rabi’ah hingga pada akhirnya ia sampai menuju kepada Yang di cintai-Nya. Karena tidak ada urutan yang pasti mengenai proses jalan menuju mahabbah membuat Penulis banyak memaparkan beberapa pendapat tentang hal ini. Tapi satu yang pasti bahwa Rabi’ah mengawali tahap ini bermula dari maqam tobat sebagaimana para calon sufi lainnya. Dalam bab ini Penulis juga memasukkan sub bab yang isinya sebuah konsep mahabbah dalam tasawuf Rabi’ah. Rabi’ah mencintai Tuhannya dengan dua cinta, yakni cinta karena dirinya dan cinta karena Tuhan. Cinta karena dirinya adalah keadaannya senantiasa selalu mengingat Tuhannya, dan cinta karena Tuhannya adalah karena Tuhannya telah membuka tabir-Nya sehingga ia bisa melihat keindahan Tuhan.
Cinta Rabi’ah kepada Allah sulit jika didefinisikan dengan kata-kata. Cinta Ilahi bukanlah hal yang dapat dielaborasi secara pasti, baik melalui kata-kata maupun simbiol-simbol. Para sufi memiliki pendapat untuk mende- fenisikan cinta Ilahi ini.
Aku takut rumah ini akan mengikat hati-ku Sehingga aku terganggu dalam amal-ku untuk akhirat
Kemudia Rabi’ah memberi nasihat kepada pengunjung atau tamu yang datang bertamu kerumahnya.
Memandang dunia sebagi sesuatu yang hina dan tak berharga, adalah lebih baik bagi-mu
Kecintaan Rabi’ah al-Adawiyah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala tertuang dalam syair berikut:
Ya Tuhan, bintang dilangit gemerlapan Mata telah bertiduran, pintu-pintu telah dikunci